REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- WWF Indonesia dan Lembaga Biologi Molekular Eijkman, lembaga riset di bawah Kementerian Riset dan Teknologi menyatakan Gajah Sumatra rentan alami kepunahan.
Hal tersebut pasca melakukan studi deoxyribonucleic acid (DNA) Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang diambil dari sampel kotoran gajah di beberapa kantong habitat gajah di Sumatra, khususnya di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau. Penelitian dilakukan dalam rangka merayakan Hari Gajah Sedunia 2016.
"Penelitian ini dilakukan sejak 2012, metode dirancang sistematis, kami mengumpulkan sampel DNA dari kotoran gajah," kata Ekolog Satwa Liar WWF-Indonesia Sunarto dalam siaran pers, Kamis (11/8).
Dari analisis sampel, peneliti berhasil mengindentifikasi 113 individu yang berbeda, dan dapat memperkirakan jumlah minimal populasi Gajah Sumatra di kantong habitat Gajah Sumatra di Taman Nasional Tesso Nilo. Selain mengetahui jumlah populasi, studi tersebut mengungkap adanya pergerakan beberapa individu antara beberapa lokasi yang belum diketahui sebelumnya.
Studi DNA diperkuat dengan studi pergerakan gajah dengan bantuan kalung GPS. Metode tersebut berhasil mengungkap pergerakan kelompok gajah Tesso Nilo yang terfokus di luar taman nasional, yakni di kawasan hutan tanaman industri. Pergerakan diduga akibat tingginya aktivitas manusia, khususnya perambahan, yang terjadi di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.
Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia Krismanko Padang mengungkapkan, penurunan populasi Gajah Sumatera utamanya terjadi akibat deforestasi. Dalang lainnya yakni konversi hutan menjadi perkebunan, hutan tanaman dan pemukiman yang menyebabkan gajah kehilangan habitat alaminya.
"Ini juga yang meningkatkan frekuensi konflik antara gajah dengan manusia," katanya.
Kondisi tersebut semakin diperburuk oleh perburuan liar yang mengincar gading gajah akibat permintaan pasar gelap, baik domestik maupun internasional yang masih besar.