Selasa 09 Aug 2016 20:39 WIB

Pernikahan Dini Picu Keretakan Rumah Tangga

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Citra Listya Rini
Pernikahan dini (Ilustrasi).
Foto: IST
Pernikahan dini (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, CIMAHI -- Pernikahan dini di Kota Cimahi diakui masih terjadi. Salah satu penyebabnya yakni karena kebiasaan dalam sebuah keluarga yang ingin menghindari anaknya dari pergaulan yang tak baik.

Wali Kota Cimahi Atty Suharti menyatakan pernikahan dini di Cimahi memang masih ada tapi tidak banyak jumlahnya. Salah satu faktor pernikahan dini dilakukan yakni karena kebiasaan sebuah keluarga.

Penyebab ini di luar dari faktor ekonomi yang kerap terjadi di daerah lain selain Cimahi. Sejumlah masyarakat, menurut Atty, masih memiliki anggapan lebih baik segera menikahkan anaknya di waktu muda dari pada terjerumus pergaulan bebas seperti pacaran salah satunya

"Padahal juga perlu dipikirkan soal persiapan apa saja yang harus dipunyai sebelum berumahtangga," kata Atty, belum lama ini. Karena itulah perlu ada edukasi secara masif yang diberikan kepada masyarakat ihwal pematangan jelang pernikahan.

Jika pernikahan dini tidak diantisipasi, tentu akan memunculkan berbagai persoalan di internal rumah tangga. Misalnya, KDRT tersebut. Tak hanya ini, pernikahan dini justru akan menghilangkan berkembangnya potensi yang dimiliki anak. Termasuk, kesempatan menempuh pendidikan yang tinggi juga hilang.

Selain itu, pernikahan dini juga memicu terjadinya perceraian. Akibatnya kemudian membuat perempuan menjadi orang tua tunggal dalam mengasuh anaknya yang masih kecil. Atty mengakui, pernikahan dini memang rentan menimbulkan perceraian.

Berdasarkan data terakhir dari Pengadilan Agama Cimahi yang mencakup wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Cimahi, kasus perceraian yang diajukan ke pengadilan tersebut dari 2013 sampai 2015 kemarin memang meningkat.

Total kasus perceraian tahun 2013 mencapai 5.000, tahun 2014 sebanyak 6.000 dan tahun 2015 mencapai 7.000 kasus. Dari total kasus tersebut, 70 persennya kebanyakan merupakan cerai gugat, yakni cerai yang diajukan pihak istri.

Selain itu, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Cimahi pada Januari hingga Juli 2016 mencapai 21 kasus. Jumlah ini diketahui melalui data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Cimahi. Kebanyakan kasus terjadi akibat timbulnya konflik dalam rumah tangga.

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Cimahi, Fitriandy menuturkan, meski masih terjadi, kasus tersebut tidak sampai diselesaikan di ranah hukum. "Karena kebanyakan kasus bisa diselesaikan secara kekeluargaan," tutur dia.

Sebagian besar kasus yang terjadi, kata Fitriandy, yaitu ihwal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di antara kasus tersebut, tidak sedikit yang sampai pada pemukulan atau kontak fisik lainnya.

Selain kasus KDRT, kekerasan terhadap anak pun terjadi. Namun, bukan pada ranah kekerasan seksual atau fisik, melainkan berupa penelantaran. Musabab banyaknya anak yang ditelantarkan, karena orang tuanya bekerja di luar negeri dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement