Senin 08 Aug 2016 20:03 WIB

Pengakuan Freddy, Eks Kepala Bais Ungkap Perjalanan Kontainer Ajaib

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ilham
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)
Foto: sustainabilityninja.com
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Laksamana Muda Soelaman Ponto mengaku selama ini memang gelisah atas gurita narkotika yang melibatkan aparat dan saat ini kembali mencuat akibat pengakuan Freddy Budiman. Ia kembali mengingat kejadian yang sempat ia alami dan risaukan pada tahun 2012, lalu.

Kejadian tersebut terjadi saat ia masih menjabat sebagai kepala Bais TNI. Saat itu, sekitar tanggal 24 Mei, ia mendapatkan mandat dari Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono untuk melakukan pengecekan dan penelusuran atas semua kontainer yang turun di Primkop Kalta. Primkop Kalta merupakan badan usaha milik TNI meskipun saat itu badan usaha tersebut sudah dihentikan karena tak profit.

Karena perintah langsung dari Panglima TNI, ia pun akhirnya memerintahkan anggotanya untuk mengecek setiap kapal yang mendarat dan menurunkan konteiner di seluruh Primkop Kalta. Kecurigaannya dimulai dari sini.

Ponto mengaku semua perintah ia sampaikan ke semua pelabuhan yang dimiliki oleh Primkop Kalta. Namun, hanya di Pelabuhan Tanjung Priok yang tak dijalankan. "Saya perintahkan ke semua pelabuhan. Di Semarang dilakukan, tapi di Tanjung Priok saja yang tidak. Waktu itu ada tiga konteiner yang turun. Namun, hanya dua konteiner yang diperiksa dan satu kontainer diloloskan," kata Ponto kepada Republika.co.id, Senin (8/8).

Ponto menjelaskan, pada saat yang sama, ia baru saja menyepakati perjanjian kerja sama dengan Kepala Bea Cukai Agung Uswandono. Perjanjian tersebut diakui Pontoh merupakan perjanjian bersama untuk memberantas narkotika.

Namun, hal ini kembali menjadi polemik ketika ternyata pada saat satu konteiner berisi paket sabu-sabu tersebut lolos dari pemeriksaan anggota TNI diketahui oleh Kepala Bea Cukai Agung Uswandono tersebut. "Saya merasa dikhianati dan akhirnya salah satu anak buah saya harus jadi korban karena saat itu harus membuat tanda tangan palsu untuk mengeluarkan satu kontainer tersebut," kata Ponto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement