REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu memerhatikan pengelola sumber energi untuk kebutuhan pembangkit listri di Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau. Perhatian itu sejalan program pemerintah mengembangkan investasi di wilayah tersebut.
Menurut Ekonom dan peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, saat ini Natuna dinilai masih minim infrastruktur, terutama listrik.
Ia mengemukakan, dengan model wilayah kepulauan, masing-masing daerah punya potensi energi pembangkit yang berbeda.
"Di Natuna, ada potensi gas besar yang dapat dipakai untuk sumber pembangkit," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/8).
Untuk itu, perlu dipilih teknologi pembangkit listrik yang tidak memerlukan pengerjaan lama. Salah satu caranya, dibangun mini terminal Liquefied natural gas (LNG) agar potensi gas bisa terserap dengan baik.
Terlebih pemerintah sedang mengembangkan program tol laut dan sektor maritim. Selain mini terminal LNG, diperlukan fasilitas pembangkit terapung untuk lebih menjamin kelangsungan suplai di saat gempa bumi/banjir sekalipun.
Natuna menurut ekonom senior Enny Sri Hartati, punya cadangan gas berlimpah. Karena itu, ia berharap gas tersebut nantinya menjadi sumber energi utama untuk pembangkit listrik di Natuna.
Ia mengemukakan, data menunjukkan banyak potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di Natuna. "Natuna punya sumber daya komoditas strategis, seperti perikanan, sehingga harus didukung ketersediaan infrastruktur energi," ujar Enny.
Sebagai gambaran, selain minyak bumi, wilayah Natuna disebut-sebut menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia. Misal Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun mendatang. Sementara itu, potensi gas yang recoverable di Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak.
Jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut. Jika diuangkan kekayaan gas Natuna mencapai Rp 6.000 triliun alias 3 kali lipat APBN saat ini.