REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Musim kemarau basah yang diselingi hujan memicu kasus demam berdarah dengue (DBD). Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman, Mafilindati Nuraini menuturkan, kondisi tersebut menimbulkan genangan air sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, sehingga fektor DBD ikut berkembang.
"Walaupun jumlah kasus DBD sudah turun dari bulan sebelumnya, karena sekarang masih turun hujan, kasusnya pun masih bermunculan," katanya saat ditemui di kantor dinas, Senin (8/8).
Perempuan yang akrab disapa Linda itu menuturkan, sejak Januari hingga Agustus tahun ini terjadi 556 kasus DBD, dengan jumlah kematian sebanyak tujuh kasus. Kasus kematian akibat DBD ini terjadi pada masyarakat usia anak dan dewasa.
Linda menuturkan, Depok menjadi kecamatan dengan kasus DBD tertinggi karena faktor kepadatan penduduk. Namun demikian, kasus kematian di wilayah tersebut nihil karena penanganan yang cepat. "Kematian kasus DBD kan biasanya terjadi karena keterlambatan penanganan," kata Linda.
Oleh karena itu, ia meminta agar masyarakat lebih waspada saat melihat keluarganya menderita sakit selama berhari-hari. Linda mendorong agar masyarakat mengetahui ciri-ciri sakit DBD, di antaranya badan lemas dan demam tinggi.
Untuk menekan kejadian DBD, Linda mengimbau agar masyarakat tetap mewaspadai tempat-tempat yang mungkin menjadi sarang nyamuk, seperti tandon-tandon air. Selain itu ia juga meminta masyarakat untuk tetap melakukan 3M+, yakni menguras air, mengubur sampah, menutup gentong, dan menjaga kebersihan.
Selain itu, saat ini Pemkab Sleman melalui Dinkes masih menggalakan gerakan juru pemantau jentik. Pasalnya kabupaten di bagian utara DIY memiliki beberapa wilayah endemik DBD. "Wilayah endemik di Sleman itu kan yang masuk lima daerah kasus tertinggi, seperti Depok, Gamping, dan Berbah," katanya.