Ahad 07 Aug 2016 06:00 WIB

MTQ Bukan Sekadar Kompetisi Mengaji

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Masih teringat ketika kecil dahulu, saat Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) diselenggarakan, gaungnya terdengar ke seluruh pelosok nusantara. Di provinsi mana pun MTQ dilaksanakan, saya yang tinggal di ibu kota ikut merasakan semangat perhelatan ini. Bahkan lagu mars masih melekat dalam ingatan.

Gema musabaqah tilawatil Qur'an, pancaran Ilahi.

Cinta pada Allah, Nabi, dan Negara wajib bagi kita.

Limpah ruah bumi Indonesia, adil makmur sentosa.

Baldatun tayyibatun warrabbun ghofur, pasti terlaksana.

Akan tetapi, gema ini mulai memudar seiring perjalanan waktu.

Apakah akibat televisi tidak lagi dimonopoli satu stasiun televisi saja, atau memang minat antusiasme masyarakat yang mulai menurun. Sederhananya, sekalipun ada puluhan stasiun televisi beroperasi, jika ketertarikan dan keterikatan masyarakat tinggi terhadap event ini, tentu saja semua akan tetap berebut menyiarkan. 

Ketika MTQ pertama kali diadakan tahun 1968 di Ujung Pandang--sekarang disebut Makassar--program ini menjadi agenda tahunan. Berikutnya Bandung 1969, Banjarmasin 1970, Medan 1971, DKI Jakarta 1972, Mataram 1973, Surabaya 1974, Palembang 1975, Samarinda 1976, dan Manado 1977.

Akan tetapi, setelah tahun 1977, atau penyelenggaraan kesepuluh, MTQ diadakan setiap 2 tahun sekali. Semarang 1979, Banda Aceh 1981, Padang 1983, lalu di Pontianak 1985. Artinya ada penurunan frekuensi yang merupakan salah satu indikasi kegiatan ini kurang diprioritaskan.

Lebih miris lagi, setelah MTQ Pontianak, pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur'an frekuensinya diperjarang lagi menjadi kegiatan per tiga tahunan. Kota berikutnya yang menjadi tuan rumah adalah Bandar Lampung 1988, Yogyakarta 1991, Pekanbaru 1994, Jambi 1997, Palu 2000, Palangkaraya 2003, dan Kendari 2006.

Perkembangan positif berembus setelah tahun 2006, MTQ kembali diadakan dua tahun sekali. Ini menunjukkan adanya antusiasme menguat terhadap peyelenggaraan MTQ. Dimulai dari Banten 2008, Bengkulu 2010, Ambon 2012, Batam 2014, dan kini Mataram 2016.

Dan alhamdulillah, jika kita mengikuti penyelenggaraan MTQ ke-26 di Mataram, insya Allah optimisme akan kembali menyala.

Provinsi yang menjadi tuan rumah MTQ dua kali ini setidaknya membuktikan bahwa MTQ bisa tetap menjadi acara akbar yang disambut masyarakat luas. Anak-anak, tua, muda, lelaki, perempuan, semua tumpah-ruah memenuhi jalan-jalan untuk menyaksikan pawai ta'aruf atau upacara pembukaan MTQ.

Bahkan dari berita, sambutan masyarakat Mataram terhadap MTQ terlihat lebih antusias dibanding warga Brazil menyambut pesta olahraga paling bergensi, Olimpiade 2016, yang akan diadakan di sana.

Jika dipersiapkan secara matang serta mendapat dukungan penuh Pemerintah Daerah dan pusat, MTQ bisa tetap menjadi acara yang menarik minat masyarakat. Lebih dari itu, warga nonmuslim sekalipun bukan peserta ikut meramaikan pawai, sehingga menunjukkan kerukunan umat beragama dan  toleransi yang lebih nyata. Selain itu, peserta MTQ juga berasal dari beragam profesi, bahkan ada taruna kepolisian dan anggota TNI yang ikut serta berkompetisi, yang membuat perhelatan ini lebih berwarna. Semua ini menunjukkan bahwa MTQ bukan sekadar lomba mengaji.

Inti utamanya adalah membumikan Al-Qur'an. Semangatnya adalah kaderisasi generasi yang mencintai Al-Qur'an. Hanya peserta pilihan terbaik yang lolos mengikuti kegiatan ini. Untuk mendapatkan yang terbaik, berarti ada seleksi demi seleksi. Dan semua proses tersebut adalah kaderisasi.

Untuk kepentingan kaderisasi, di MTQ ke-26 ini, tiap provinsi tidak dianjurkan mengikutsertakan peserta bajakan. Karena dulu, event perlombaan ini memiliki catatan yang perlu dikoreksi, yaitu banyak provinsi membajak qori dari provinsi lain dengan mudah. Semangatnya menang kalah, bukan kaderisasi.

Kini, setiap provinsi harus mengirim peserta yang benar-benar berasal atau berdomisili di daerah bersangkutan. Jadi, semangatnya adalah pembinaan, bukan sekadar kompetisi.  Penyelenggaraan MTQ juga menjadi barometer perkembangan pendidikan Alquran secara nasional. Apakah semakin meningkat atau malah memprihatinkan--na'udzu billahi min dzalik.

Semoga saja Musabaqah Tilawatil Qur'an menjadi tonggak baru menuju kecintaan bangsa Indonesia terhadap Qur'an dan juga ajang semangat untuk menjadikan kitab suci ini sebagai sumber informasi dan solusi bagi permasalahan bangsa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement