REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengungkapkan, selama tiga tahun terakhir jajak pendapat nuklir di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Jajak pendapat ini bukan berdasarkan survei Batan tapi lembaga independen.
"Itu artinya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bisa semakin diterima masyarakat," ungkap Kepala Batan, Profesor Djarot Wisnubroto saat mengisi Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir bertemakan "Peran Energi Nuklir dalam Pengembangan Industri Nasional" di Politeknik Negeri Batam, Kepulauan Riau, Kamis (4/7).
Berdasarkan jejak pendapat itu, 60,4 persen masyarakat Indonesia menerima keberadaan PLTN di Indonesia. Kemudian meningkat drastis menjadi 72 persen di tahun berikutnya. Tahun lalu, jejak pendapat tersebut bertambah sedikit menjadi 75,3 persen.
Djarot tidak menampik selama lima tahun terakhir, jejak pendapat ini sempat menurun pada 2011. "Di 2010 59,7 persen lalu turun menjadi 49,5 persen tapi di tahun berikutnya meningkat kembali menjadi 52,9 persen," terangnya. Penurunan ini dipengaruhi karena kecelakaan yang sempat dialami Fukushima, Jepang di 2011.
Menurut Djarot, peristiwa ini memang sempat menciptakan ketakutan bagi masyarakat awam sedangkan pihak yang memahami teknologi ini seperti dirinya justru tidak merasakannya. Untuk itu, sosialisasi kearifan dan pengetahuan nuklir terus didorong hingga kini. Bahkan, sejumlah negara maju meyakinkan telah memperbaiki segala kekurangan yang pernah mereka alami.
Pasca peristiwa Fukushima, Djarot menambahkan, terdapat 440 PLTN yang masih beroperasi di 31 negara dan 65 sedang konstruksi. Selanjutnya, terdapat lima negara baru yang tengah fokus pembangunan PLTN, seperti Uni Emirat Arab, Bangladesh, Vietnam, Turki dan Belarus. Sementara Yordania, Arab Saudi, Nigeria dan Lithuania sudah mengatakan keseriusannya untuk membangun.