Rabu 03 Aug 2016 21:32 WIB

Hasyim Muzadi Angkat Bicara Soal Pengakuan Freddy Budiman

Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi berpidato di sela pembukaan Konferensi Cendekiawan Muslim Internasional (ICIS) ke-4 di Aula Rektorat, Universitas Islam Maulana Maliki Ibrahim, Malang, Jawa Timur, Senin (23/11).
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi berpidato di sela pembukaan Konferensi Cendekiawan Muslim Internasional (ICIS) ke-4 di Aula Rektorat, Universitas Islam Maulana Maliki Ibrahim, Malang, Jawa Timur, Senin (23/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Hasyim Muzadi, angkat bicara soal pengakuan terhukum mati kasus narkoba almarhum Freddy Budiman tentang dugaan penyuapan terhadap pejabat negara dalam sindikat perdagangan barang haram itu.

Meski Hasyim mempertanyakan mengapa disampaikan setelah Freddy meninggal, namun dia  tetap meminta pengusutan terhadap kebenaran kabar tersebut.

Jika benar, tentu harus ada evaluasi mendasar dan besar-besaran terhadap pihak yang terlibat.

“Jika tidak terbukti ini adalah fitnah yang harus juga dipertanggungjawabkan,” katanya dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (3/8).

Sebab bagaimanapun, gerakan antinarkoba bisa berwujud melalui beragam cara, seperti advokasi hukum, intervensi intelijen, pembentukan opini publik, dan lain sebagainya.

Lebih lanjut, Hasyim yang juga  Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini menilai keputusan negara mengeksekusi mati 14 terpidana mati kasus narkoba sudah benar dan sesuai prosedur hukum.  

Dia menjelaskan, mengapa menggunakan kata ‘negara’, karena eksekusi ini  melalui proses penyidikan, pengadilan sampai tingkat yang tertinggi, kemudian dilanjutkan dengan keputusan presiden.

“Jadi tidak semata-mata keputusan eksekutif tapi keputusan negara”.

Dia pun menyebut, secara individual tak mampunyai hak hukum untuk menganulirnya. Dengan pengecualian, jika ada novum baru yang bisa membatalkan proses pengadilan yang telah berketetapan hukum (inkracht).   

Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS) ini menyayangkan sikap sebagian kalangan yang terpaku dengan isu-isu pelemahan perlawanan terhadap perdagangan narkoba.  

Hasyim mengkritik sikap sejumlah negara yang cenderung lebih mempersoalkan keputusan hukuman mati dan membela terhukum, baik melalui isu HAM, tidak efektifnya hukuman mati, atau gerakan Amnesty Internasional.   

Ini berbeda jauh dengan sikap mereka terhadap isu terorisme. Banyak negara lain membantu Indonesia baik berupa pelatihan, dukungan moral, dan hukum internasional.

Padahal menurut Hasyim, isu HAM digunakan seakan-akan yang mempunyai HAM hanyalah terhukum, tidak dihitung jumlah korban yang dirampas hak hidupnya oleh serangan narkoba itu. “Hak hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar,” tuturnya.

Hasyim menyebut peredaran dan penyalahgunaan narkoba merupakan bahaya tertinggi di Indonesia di samping terorisme, korupsi, dan demoralisasi.

Jumlah penduduk indonesia yang terserang narkoba mencapai angka 5,6 juta orang. Tak kurang dari 54 orang meninggal tiap hari akibat narkoba.  Narkoba juga menghancurkan moralitas dan disiplin sebagian penyelenggara negara.

Dengan demikian, ungkap Hasyim, hukuman mati sesungguhnya bukanlah semata-mata mematikan terhukum, namun menjaga kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri.

“Bagi manusia hukuman mati adalah bentuk menjaga kehidupan,” ujar Pengasuh Pesantren al-Hikam, Depok Jawa Barat ini.

Dia mengimbau tokoh-tokoh bangsa berpihak kepada keselamatan negara daripada terjebak isu-isu yang dialamatkan ke Indonesia secara beruntun dan disengaja dengan tujuan mempersulit negara.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement