REPUBLIKA.CO.ID, PURABALINGGA -- Batik khas Purbalingga hingga kini dinilai masih kurang bergaung. Padahal potensinya dianggap tidak kalah dengan daerah lain.
"Potensi batik di Purbalingga bagus sekali tetapi sampai hari ini, gaungnya masih belum terdengar," kata Wakil Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, Rabu (3/8). Menurut Dyah, orang dari luar Purbalingga bahkan lebih sering mengenal kabupaten itu sebagai daerah industri knalpot, rambut palsu, dan bunga.
Ia menilai salah satu permasalahan klasik yang sering dihadapi dalam pengembangan batik berupa pewarnaan yang masih monoton karena didominasi dengan warna yang cenderung gelap, yakni hitam atau cokelat. Selain itu, kata dia, inovasi dan kreativitas batik juga diperlukan sehingga mampu berdaya saing dengan perajin luar daerah.
"Apalagi kita sudah memasuki era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) atau global. Jadi, untuk menekuni bidang apapun, kita harus menciptakan serta meningkatkan kreasi dan inovasi, agar kita memiliki daya saing, karena batik tidak hanya ada di Purbalingga saja, tetap di kota-kota dan kabupaten lain juga banyak yang memproduksi batik," katanya.
Ia mengatakan perajin batik di Purbalingga saat ini hanya mengembangan batik tulis yang pembuatannya butuh waktu lama.
Padahal, kata dia, peraji batik di daerah lain sudah banyak yang mengembangkan batik cap maupun cetak (printing).
Menurut dia, hal itu berdampak pada harga batik cap yang jauh lebih murah daripada batik tulis. "Dibandingkan batik tulis, dengan harga yang relatif rendah, kita sudah mendapatkan batik cetak berkualitas serta sudah dalam bentuk jadi. Oleh karena itu, ke depan perlu mengembalikan segmentasi dan lebih mengembangkan batik cap dan batik 'printing'," katanya.