Senin 01 Aug 2016 21:36 WIB

Sultan: Keberadaan Pujangga Semakin Langka

Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono X  mengatakan perbedaan penentuan 1 Suro antara Keraton Yogyakarta dan pemerintah karena  menggunakan dasar perhitungan yang berbeda.
Foto: Antara
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono X mengatakan perbedaan penentuan 1 Suro antara Keraton Yogyakarta dan pemerintah karena menggunakan dasar perhitungan yang berbeda.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan saat ini keberadaan pujangga sebagai sumber kearifan lokal dalam membangun manusia Jawa sudah semakin langka.

"Sejatinya intelektual itu adalah istilah masa kini, yang di zaman silam disebut 'Pujangga' sebagai sumber kearifan lokal dalam membangun manusia Jawa. Sayangnya kini sudah teramat langka intelektual yang mau kembali ke dasar menginovasi pitutur luhur dan wewarah agung untuk dikemas dalam berbagai media," kata Sultan di Sleman, Senin (1/8).

Menurut dia, dulu gagasan pemikiran pujangga tersebut ada yang tersaji dalam bentuk tembang (nyanyian), tembung (perkataan), tarian dan laku-laku budaya dalam kaitan filosofi hamemayu hayuning diri (memperindah keindahan diri) membangun diri disertai tekad dan budi untuk kemudian membangun masyarakat-bangsa, Hamemayu Hayuning Bawana (mempercantik dunia yang cantik).

"Dalam membangun jiwa, manusia Jawa senantiasa diingatkan untuk sadar diri akan piweling (pesan baik) dan piwulang (ajaran) leluhur. Ketika makarya (bekerja) dipesankan untuk selalu sabar, karena sabar itu mustikaning iku mustikaning laku (sabar itu mahkota kehidupan), sabar merupakan inti penghayatan hidup. Selaras dengan semangat sabar kuncining swarga artine marganing kamulyan atau jalan menuju kemuliaan," katanya.

Ia mengatakan, kata "yang mulia" saat ini seringkali terinflasi dan terdegradasi oleh segelintir elite yang karena jabatan seharusnya melekat dalam dirinya sebutan "Yang Mulia", janganlah menyurutkan langkah untuk menjadi manusia utama yang dimuliakan Allah.

"Tapi sayangnya bukankah para 'Yang Mulia' itu sudah banyak yang berurusan dengan KPK. Menang di tengah godaan hedonisme yang konsumeristik sekarang ini, menjadi 'Yang Mulia' yang sejatinya mulia, itu tidak mudah," katanya.

Raja Keraton Yogyakarta ini mengatakan, bagaimana para ahli hukum dan cendekiawan mencitakan hukum yang yang mendasarkan diri pada keadilan, kebenaran dan kearifan bagi Indonesia yang lebih baik.

"Kebenaran dapat bagaikan lilin. Tetapi apa makna lilin dalam kehidupan kegunaannya baru nampak pada saat listrik padam. Lilin adalah cahaya, dan cahaya adalah bentuk materi. Kebalikannya adalah gelap, gelap bukan materi, ia tidak memiliki daya. Ia adalah keadaan hampa tanpa cahaya," katanya.

Ia mengatakan, sepanjang sejarah umat manusia mengalami kesesatan, ketika roda kebenaran berhenti bergerak. "Gelap yang menyelimuti langit sebenarnya dapat diusir dengan mudah, bila kita menyalakan lilin dan berhenti mengutuk gelap, karena ia toh tidak berwujud dan tidak berdaya," katanya.

Hal yang semestinya dilakukan, kata Sultan, adalah membangun jaringan elemen-elemen masyarakat yang punya idealisme guna menguatkan jaringan kelembagaan beserta fungsi dan perannya di tengah masyarakat-bangsa. "Dengan dukungan kekuatan rakyat yang besar sebagai penghela, niscaya kita mampu menegakkan keadilan dan kebenaran dalam setiap persoalan bangsa," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement