REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan Badan Pengawasan Obat dan Makanan perlu diperkuat terutama untuk mengawasi peredaran obat palsu.
"Selama ini BPOM tidak memiliki wewenang untuk menangkap atau menggeledah, maka perlu penguatan lembaga tersebut untuk mengawasi obat palsu," kata Tulus Abadi, Jumat (29/7).
Kasus vaksin palsu adalah bagian kecil dari pemalsuan obat-obatan di Indonesia, dia mengatakan penegakan hukum untuk kasus obat palsu haruslah dari hulu. YLKI juga menilai pemberian hukuman kepada pembuat vaksin palsu dinilai masih ringan sehingga tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
Pihaknya juga menyoroti masih lemahnya audit pengawasan intern terhadap lembaga kesehatan, termasuk banyak rumah sakit yang belum terakreditasi.
"Dari 14 rumah sakit yang diduga menggunakan vaksin palsu sebagian besar belum terakreditasi. Di seluruh Indonesia hanya 50 persen rumah sakit yang telah mendapat akreditasi," kata dia.
Peredaran vaksin dan obat-obatan palsu membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga kesehatan dan berkurang, padahal lembaga kesehatan adalah benteng terakhir untuk menjaga kesehatan masyarakat.
"Akhirnya pasien akan memilih berobat alternatif yang belum teruji secara medis, dan bisa-bisa terjerumus kepada perdukunan. Padahal tugas negara untuk menjaga kesehatan masyarakatnya," kata dia.