REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung hanya mengeksekusi empat terpidana mati dari semula direncanakan 14 orang dalam eksekusi mati jilid III pada Jumat (29/7) dini hari ini. Mereka yakni Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus dan Humprey Ejike.
Adapun 10 terpidana mati lainnya masih masih ditangguhkan eksekusinya hingga waktu yang belum ditentukan. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengungkapkan alasan penangguhan 10 terpidana mati yang urung dilakukan pelaksaaannya pada Jumat dini hari tadi.
"Ketika di detik terakhir, menjelang eksekusi harus ada yang ditangguhkan karena ada faktor tertentu," ujar Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (29/7).
Menurutnya, penangguhan diputuskan oleh tim yang berada di lapangan sebelum eksekusi dilakukan. Adapun keputusan itu juga dilakukan berdasarkan kajian sejumlah pihak dengan mempertimbangkan aspek yuridis maupun nonyuridis.
Ia membantah jika disebutkan penangguhan 10 orang tersebut lantaran adanya tekanan dari pihak luar. "Saya selaku jaksa agung menerima apa yang diputuskan Tim di lapangan, penangguhan memang perlu dilakukan," ujarnya.
Baca juga, Eksekusi Mati Sinyal Keras Indonesia Perangi Narkoba.
Meski ia tidak membantah, jika ada masukan dari pihak luar terkait proses hukum di Indonesia. Karena menurutnya, saat ini Indonesia sedang berada pada kondisi darurat Narkoba dan hukuman mati merupakan bentuk perang terhadap peredaran barang haram tersebut.
"Tidak ada tekanan diplomatik, kita harus menghormati, kedaulatan hukum kita. Ada hinbauan dari inggris, australia. Cuma mereka harus menghormati,” ujar Prasetyo.
Sementara terkait sampai kapan batas waktu penangguhan 10 terpidana mati tersebut, Prasetyo belum dapat memastikannya. Namun ia memastikan selanjutnya, 10 terpidana mati yang batal dieksekusi akan dikembalikan ke lembaga permasyarakatan masing-masing. "Saya belum bisa pastikan tahun ini atau kapan," ujarnya.