Kamis 28 Jul 2016 04:04 WIB

Pascareformasi, Pemimpin Cenderung Buat Kebijakan Populer

Rep: Lintar Satria/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah mahasiswa demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Foto: Antara
Sejumlah mahasiswa demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antropolog Universitas Indonesia Sofyan Ansori mengatakan pascareformasi identitas lokal semakin terpinggirkan. Pascareformasi pemerintah pusat maupun daerah cenderung membuat kebijakan populer dibandingkan dengan yang  berpihak kepada masyarakat lokal.

Dengan membuat kebijakan yang populer peluang untuk terpilih kembali menjadi lebih besar. Sofyan mengatakan ada identitas lokal yang diadopsi menjadi kebijakan tapi hanya yang sesuai dengan kepentingan mayoritas.

"Pemerintah lebih memilih mengakomodir kepentingan mayoritas," katanya, Rabu (27/7).

Ia mengatakan akibatnya banyak tradisi lokal yang terpinggirkan. Karena minoritas di tempat mereka sendiri. Justru imigran lebih banyak sehingga pemerintah lokal memilih untuk mengkomidir kepentingan imigran.  

"Ada proses yang berasal dari fragmen-fragmen yang dipilih," katanya.

Hal ini senada dengan pendapat Antropolog Semiarto Aji. Dia mengatakan reformasi yang dianggap meningkatkan kesetaraan politik yang lebih baik dan kemajuan dalam konteks multikulturalisme akan menuntun kepada kesetaraan sosial dan ekonomi yang lebih baik. Namun, Indonesia saat ini mengalami peningkatan ketidaksamaan, konflik terhadap akses sumber daya dan lapangan pekerjaan, kurangnya toleransi antar umat beragama, dan marjinalisasi kelompok dan individu yang terus berkelanjutan.

"Beberapa akademisi memprediksi bahwa masalah iniakan berkelanjutan karena reformasitidak merubahakar permasalahan ketidaksetaraan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement