REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya melakukan perombakan kabinet untuk kedua kalinya. Di antara nama-nama yang dicopot, tak ada sosok Rini Soemarno. Ia tampak masih dipercaya Kepala Negara untuk menduduki jabatan menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, menurut pengamat kebijakan publik, Ichsanuddin Noorsy, hal itu tak lepas dari perubahan komposisi partai-partai politik pendukung pemerintah di parlemen.
Padahal, sebagaimana rekomendasi panitia khusus (Pansus) Pelindo II pada 18 Desember 2015 lalu, presiden harus memberhentikan Rini Soemarno dari jabatan menteri BUMN.
Merujuk pada Pasal 74 Undang-Undang Nomor 17/2004, jelas Noorsy, Presiden wajib menindaklanjuti keputusan Pansus di DPR. Adapun ketua Pansus Pelindo II berasal dari kalangan PDIP, partai pengusung utama Jokowi. Bahkan, Menteri Rini sempat dilarang mengikuti rapat bersama mitra kerja di DPR RI lantaran rekomendasi Pansus itu.
"Dipertahankannya Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN menunjukkan betapa Joko Widodo percaya diri menghadapi kekuatan partai-partai di DPR," kata Ichsanuddin Noorsy dalam pesan singkatnya, Rabu (27/7).
Selain itu, Noorsy memaparkan, Presiden juga tampak tak gentar menghadapi potensi munculnya Hak Menyatakan Pendapat oleh DPR tentang keputusan Pansus Pelindo II. Menurutnya, dalam konteks keberadaan Rini di kabinet, kepentingan PDIP dan Jokowi berbeda satu sama lain.
Noorsy menegaskan reshuffle kali ini kian menegaskan posisi Indonesia yang kian terjepit dalam kepentingan neoliberalisme. Apalagi, sebut dia, sosok Rizal Ramli sudah tergusur dari Kabinet Kerja. Rizal dinilai lantang bersuara menentang konglomerasi dan kepentingan Barat yang coba mengusai ekonomi hajat hidup rakyat.
"Hal ini tidak akan sanggup diatasi kabinet hasil perombakan kedua, karena Kabinet Kerja sendiri sudah memilih deregulasi dan debirokratisasi sebagai wujud liberalisasi perekonomian," ujarnya.