REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar pemblokiran konten internet diatur dalam revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kini tengah dibahas di DPR.
"Urgensi pengaturan pemblokiran konten internet harus diatur dengan mekanisme yang jelas, dan kewenangan pemblokiran harus dilakukan oleh badan independen yang tidak terpengaruh dari politik kepentingan dan harus diatur di dalam perubahan undang-undang ITE," kata Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Asep Komaruddin di Jakarta, Selasa (26/7).
Selain itu, menurut Asep, koalisi masyarakat sipil juga meminta agar penyadapan diatur dengan mekanisme yang jelas di dalam undang-undang tersendiri dengan memasukkan mekanisme pelaporan ke publik dan pertanggungjawaban yang jelas dari lembaga yang memiliki kewenangan tersebut.
Sementara permasalahan aktual yang juga penting dibahas dalam pembaruan UU ITE ini adalah pemanfaatan teknologi informasi, terutama terkait kebijakan tata kelola konten internet. Revisi UU ITE diharapkan menempatkan hak mengakses internet sebagai bagian dari hak asasi manusia seperti hak asasi manusia lainnya sehingga seluruh perlindungan hak asasi seseorang juga harus menjadi acuan dan pijakan dalam pengambilan kebijakan terkait.
Terkait dengan pasal pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3) pada UU ITE, menurut Asep, LBH Pers meminta agar hal itu dicabut. "Kami menganggap pasal itu bermasalah menimbulkan banyak korban. Pasal tersebut tidak mempuyai rumusan yang jelas dan multitafsir. Selain itu, hal itu juga sudah diatur dalam KUHP, jadi tidak perlu duplikasi, revisi UU ITE fokus saja pada dunia digital," katanya.
Sementara itu, pihaknya meminta agar pembahasan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak dilakukan secara tergesa-gesa. "Kami khawatir hal subtantif yang seharusnya ada justru terlewatkan sehingga perubahan UU ITE yang baru tidak menjawab kebutuhan masyarakat," katanya.