REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua dokter ahli saraf dari Indonesia yakni dr Andreas Harry Sp.S(K) dari Jakarta dan dr Evita Rosada Sp.S dari Makassar, Sulawesi Selatan, mengikuti Konferensi Internasional Asosiasi Alzheimer (AAIC) 2016 yang saat ini berlangsung di Toronto, Kanada.
"Kami bergabung dengan para ahli dan peneliti saraf dunia untuk mengikuti perkembangan dan mendiskusikan penyakit ini, yang terus kecenderungannya meningkat, baik di negara maju dan berkembang," kata Andreas Harry saat menghubungi Antara dari Toronto, Kanada, Selasa malam.
Ia mengemukakan penyakit alzheimer mengenai sekitar 5,4 juta penduduk Amerika Serikat pada tahun 2011, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 7,7 juta pada tahun 2030. Saat ini, kata dia, penyakit alzheimer adalah penyakit neurodegeneratif terbanyak di AS, dan merupakan penyebab kematian nomor empat di negara itu.
"Sedangkan untuk negara-negara berkembang diperkirakan jumlah penderita alzheimer di juga akan sangat meningkat dalam dua dekade mendatang," katanya.
Ia menjelaskan penyakit alzheimer adalah gangguan "neurodegeneratif progresif", yang ditandai dengan berkurangnya sel saraf secara progresif, terutama di "hipokampus" dan "korteks otak" sehingga terjadi penurunan fungsi memori, penamaan, kemampuan berbahasa, visuospasial dan fungsi eksekutif.
Penyakit neurodegeneratif sendiri, kata dia, saat ini diketahui terjadi akibat agregasi dan "misfolding protein".
Mengenai gambaran histopatologi penyakit alzheimer, menurut lulusan spesialis saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, adalah ditemukannya plak ekstraselular berupa "amyloid beta" dan adanya patologi "tau protein" intraselular di otak.
Keduanya bersifat toksik terhadap sel neuron di kortikal. Namun demikian, katanya, penelitian pada pertemuan AAIC banyak memperhatikan adanya gangguan di subkortikal seperti "white matter hyperintensity" yang disebabkan terutama oleh penyakit cerebrovaskular, seperti diabetes melitus (DM), penyumbatan pembuluh darah kecil di otak (lacunar infark) yang dapat mempercepat terjadinya penyakit alzheimer.
"Penyakit alzheimer yang dulunya dianggap 'familial', saat ini paling sering terjadi akibat faktor risiko cerebrovaskular yang menyebabkan rusaknya sel otak, yang dikenal sebagai 'sporadik alzheimer," kata Andreas Harry, yang pernah menjadi dosen pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta itu.
Terutama, kata dia, terjadi pada kelompok di atas usia 65 tahun dan kini tidak bersifat "familial". Mengenai pencegahannya, kata dia, bisa dilakukan dengan "aerobic exercise" berdurasi 45 menit selama empat kali sepekan, di mana langkah itu dapat memperbaiki energi mitokondria sel saraf dan memperbaiki neurogenesis.
The Alzheimer's Association International Conference (AAIC) 2016 yang berlangsung di Toronto telah berlangsung sejak 22 Juli dan akan berakhir pada 28 Juli mendatang.