REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut memperhatikan apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS) SBY yang saat ini sedang berada di Seoul, Korea Selatan, mengikuti tayangan Konvensi Nasional Partai Republik yang mencalonkan Donald Trumph sebagai Presiden AS pengganti Barack Obama.
Dalam akun Twitter-nya, SBY mengatakan dunia sedang melihat apa yang sekarang terjadi di AS, bukan hanya terkait gaduhnya politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2016, tetapi juga hal-hal lainnya.
"Negara adidaya yang sering dianggap sebagai champion of democracy (juara demokrasi) dan role model (panutan) ini menurut saya sedang menghadapi ujian sejarah," tulisnya dalam akun @SBYudhoyono, Kamis (21/7).
AS, kata SBY, yang mempunyai tentara terkuat dan digelar dimana-mana di dunia harus menelan pahitnya keadaan ketika tanah airnya sendiri tidak aman. Insiden penembakan dengan korban yang tak sedikit erus terjadi, bahkan di sejumah kota para polisinya pun ditembak oleh penembak gelap.
Negara yang aktivis HAM-nya paling kritis dan sering 'mengadili' negara lain, ternyata kini malah mengalami konflik rasial yang kembali marak dan terjadi di beberapa kota di sana.
Ketua Umum Partai Demokrat ini menyebut tren yang ada saat ini menunjukkan masyarakat AS makin nasionalistik, sensitif terhadap negara lain, dan Islmamofobia yang semakin menguat.
Menurutnya, retorika Trumph yang akan melarang Muslim masuk AS dan akan membangun tembok sepanjang AS dan Meksiko ternyata mendapat dukungan kuat. Situasi prapilres makin panas dan kampanye negatif makin menjadi-jadi, sementara bentrokan fisik terjadi di sejumlah tempat kampanye.
Pria yang saat ini menjabat sebagai Presiden Global Green Growth Institute (GGGI) tersebut mengatakan sudah saatnya AS melakukan introspeksi dan berbenah diri. Pasalnya publik hampir tak percaya semua peristiwa itu terjadi di negara yang berperadaban maju.
"Mungkin rakyat Amerika menganggap hal ini adalah urusan dalam negeri mereka dan tak ada urusannya dengan negara lain. Menurut saya tidak," kata dia.
Pendapat SBY tersebut bukannya tanpa alasan mengingat selama ini AS mengklaim dirinya sebagai world leader (pemimpin dunia) dan selalu melibatkan dirinya dalam urusan negara lain.
Selain itu, AS juga sering 'mengekspor' demokrasi, hak asasi manusia (HAM) dan peraturan hukum (rule of law). SBY mengatakan jika AS tak membenahi masalah domestiknya dan tak memberikan contoh dalam demokrasi, HAM dan rule of law, maka negara tersebut akan kehilangan legitimasi untuk 'mengajari' bangsa lain.
Pilpres 2016 di AS saat ini memang menjadi urusan dalam negeri mereka. Tetapi yang mereka bicarakan adalah dunia dan juga menyangkut negara lain. Menurut dia, sekalipun ancaman Trumph untuk melarang Muslim masuk AS itu baru retorika politik, tetapi telah memunculkan ketegangan dan masalah baru. Apalagi, debat dan perang politik di AS sekarang ini disaksikan di seluruh dunia melalui tayangan televisi saat siang dan malam.
"Untuk Indonesia, kita tentu bersikap netral dalam Pilpres di AS. Namun secara moral kita bisa ingatkan para politisi AS lebih berhati-hati," ujarnya.
Hal ini mengingat pengaruh dan peran sentralnya sehingga AS harus aktif mengurangi persoalan dunia. Jika dunia diminta untuk memahami AS, maka AS juga harus mahami yang lain.
"Bagi Indonesia, janganlah kita serba silau dengan negara lain. Kita bisa lebih baik. Asalkan kita terus berbenah dan sempurnakan diri," kata SBY.