REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berjanji akan memediasi polemik seputar vaksin palsu yang melibatkan RS Harapan Bunda dengan keluarga korban.
Lembaga itu berharap, proses mediasi tersebut nantinya dapat memecahkan kebuntuan komunikasi antara kedua pihak yang bersengketa.
"Jadi, kami melihat ada kebuntuan komunikasi antara RS Harapan Bunda dan keluarga korban vaksin palsu, sehingga persoalan ini menjadi berlarut-larut. Untuk itu, KPAI siap menjadi penjembatan bagi kedua pihak," ujar Ketua KPAI, Asrorun Ni'am Sholeh, saat menerima kunjungan perwakilan keluarga korban vaksin palsu RS Harapan Bunda di Jakarta, Kamis (21/7).
Ia menuturkan, KPAI akan langsung mengirim surat ke RS Harapan Bunda pada hari ini juga. Surat tersebut berisi panggilan kepada manajemen RS setempat untuk membahas penyelesaian masalah vaksin palsu dengan keluarga korban. Proses mediasi tersebut rencananya mulai dilakukan dalam dua hari ke depan.
Asrorun mengatakan, pemerintah harus bertanggung jawab menuntaskan kasus vaksin palsu hingga ke akar-akarnya. Hal tersebut sejalan dengan amanat konstitusi yang mewajibkan negara memberikan jaminan atas kelangsungan hidup anak-anak.
"Negara harus mampu melindungi hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak untuk tumbuh kembang anak-anak Indonesia," tuturnya.
Polemik seputar kasus peredaran vaksin palsu di RS Harapan Bunda, Jakarta Timur, hingga saat ini belum juga kunjung selesai. Para keluarga korban pada pekan lalu melayangkan sejumlah poin tuntutan kepada manajemen RS untuk bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Salah satu tuntutan mereka adalah meminta RS Harapan Bunda memfasilitasi medical check up bagi pasiennya yang pernah divaksinasi pada periode 2003-2016. Tujuan medical check up itu untuk mengetahui siapa saja pasien yang terbukti menerima vaksin palsu di RS itu.
Akan tetapi, tuntutan tersebut hingga kini belum juga dipenuhi oleh pihak manajemen RS itu. Hal itu membuat para keluarga pasien yang anaknya pernah divaksinasi di RS Harapan Bunda merasa kecewa.