Kamis 21 Jul 2016 12:32 WIB

Rabin Tuturkan Pengalamannya Seorang Diri Terjebak Kudeta Turki

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Indira Rezkisari
Pendukung Presiden Turki Erdogan bersorak di Bandara Ataturk, Istanbul, Sabtu (16/7).
Foto: Reuters
Pendukung Presiden Turki Erdogan bersorak di Bandara Ataturk, Istanbul, Sabtu (16/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pukul 12.00 malam pada 15 Juli, seorang remaja Indonesia yang masih duduk di bangku kelas III SMP bingung harus berbuat apa. Orang-orang di sekitarnya berlarian dengan panik. Bahkan banyak di antara mereka yang berteriak heboh mencari tempat persembunyian. Sementara, suara ledakan terdengar beberapa kali di area Bandar Udara Ataturk, Istanbul, Turki.

Seluruh akses fasilitas bandara dinonaktifkan. Ribuan penumpang pesawat pun terisolasi tanpa ada persediaan makanan dan minuman. Setelah berjam-jam, akibat kelaparan, akhirnya mereka menjebol mesin makanan dan minuman otomatis untuk memperoleh bahan konsumsi.

Awalnya, tak ada seorang pun yang tahu mengenai apa yang sedang terjadi di Turki. Suasana mencekam membuat mereka hanya bisa berdiam diri sambil menunggu kondisi normal kembali. Sampai akhirnya ada beberapa penumpang yang berinisiatif membuka ponsel pintar untuk mencari informasi, barulah diketahui bahwa malam ini sedang terjadi kudeta di Turki.

"Pesawat kami delay 12 jam. Kami terisolasi di bandara selama itu. Mau bertanya juga bingung pada siapa. Karena tidak ada satu pun petugas bandara, kecuali cleaning service," tutur Rabin Upakerti Rana menceritakan pengalamannya saat terjebak dalam kudeta Turki pada Republika.co.id.

Kala itu, ia kebetulan harus transit di Bandara Ataturk dalam perjalanan dari Belanda menuju Indonesia usai mengunjungi ibunya. Namun tanpa diduga, siswa SMP Negeri III Ngaglik Sleman ini malah terperangkap dalam kekisruhan negara bulan sabit yang cukup menghebohkan dunia.

Meski hanya melakukan perjalanan seorang diri, Rabin masih beruntung dapat bertemu orang-orang yang senasib dengannya. Selama terjebak di Bandara Ataturk ia selalu bersama dengan seorang warga negara Malaysia dan dua orang Indonesia.

Usai mengetahui kondisi yang sebenarnya, Rabin pun segera meminjam ponsel warga Malaysia untuk menghubungi ibunya yang sedang tinggal di Belanda. "Saya langsung telepon ibu. Ibu juga kaget sampai nangis-nangis, takut saya kenapa-napa," katanya. Tapi Rabin tak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu.

Matahari tanggal 16 Juli pun terbit. Namun suasana di Bandara Ataturk masih mencekam. Selang beberapa jam munculah orang-orang membawa bendera Turki merangsek masuk ke Bandara sambil meneriakkan yel-yel kemenangan.

"Awalnya saya juga takut. Karena tidak tahu apakah orang-orang itu baik atau jahat. Jadi ya saya tetap diam," tutur Rabin. Namun akhirnya ia tahu bahwa orang-orang tersebut adalah masyarakat antikudeta yang telah memenangkan pertempuran. Beberapa diantara mereka bahkan naik ke atas menara bandara untuk mengibarkan bendera Turki.

Setelah itu barulah datang petugas bandara untuk menyatakan bahwa suasana telah kembali aman. Rabin pun akhirnya bisa meneruskan perjalanan menuju Indonesia via Malaysia tepat pukul 12.00 siang. "Waktu masih di Bandara Ataturk saya sempat berpikir tidak bisa pulang. Selamat atau tidak ya. Tapi akhirnya saya bisa pulang juga," katanya saat ditemui di rumahnya di wilayah Ngaklik Sleman beberapa hari setelah kejadian kudeta.

Segera setelah mengetahui anaknya bisa melanjutkan perjalanan, ibu Rabin, Fica langsung menghubungi keluarganya di Indonesia. Ia mengabari bahwa anak semata wayangnya itu sudah lolos dari kerusuhan di Turki. Fica sendiri sangat bersyukur anaknya dapat pulang selamat tanpa satu kekurangan apapun. Ia dan keluarga berharap, hal serupa tak akan pernah lagi dialami oleh buah hatinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement