Rabu 20 Jul 2016 14:55 WIB

Indonesia Masih 'Dihantui' Pernikahan Dini

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Citra Listya Rini
Pernikahan dini (Ilustrasi).
Foto: IST
Pernikahan dini (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Unicef meluncurkan buku Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Kegiatan tersebut memanfaatkan data survei sosial ekonomi nasional (susenas) 2008 hingga 2012 serta sensus penduduk 2010. Hal ini juga ditujukan untuk mengangkat isu perkawinan usia dini ke permukaan.

"Isu ini sangat kental dengan tujuan kelima Sustainable Development Goals (SDGs) yakni memberdayakan perempuan dan anak. Sehingga kami merasa peluncuran buku ini momentum penting untuk mewujudkan tujuan itu," kata Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Gantjang Amanullah di Jakarta, Rabu (20/7).

Tujuan kelima poin tiga SDGs adalah mengikat komitmen semua negara untuk menghapus semua praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak, termasuk perkawinan usia anak. Isu tersebut pun menjadi penting karena berkaitan pula dengan tujuan SDGs lain seperti tujuan ketiga tentang kesehatan, tujuan keempat tentang pendidikan, dan tujuan pertama tentang mengakhiri kemiskinan.

"Sesuai target SDGs, maka 2030 kasus ini sudah harus hilang di Indonesia," kata Gantjang yang juga merupakan ketua panitia dalam agenda tersebut.

Kepala Perwakilan Unicef di Indonesia Gunilla Olsson mengatakan, terjadi penurunan prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia. Akan tetapi, menurutnya, kemajuan tersebut harus terus disempurnakan. Meski perkawinan anak perempuan berusia di bawah 15 tahun berkurang, prevalensi di kalangan anak perempuan berusia 16 dan 17 tahun meningkat secara konsisten.

Perkawinan usia anak masih menjadi hal yang marak di Indonesia. Olsson mengaku, sekitar seribu anak perempuan menikah setiap hari di Indonesia. "Kita tahu bahwa mayoritas perkawinan usia anak terbesar di Asia Tenggara dan Pasifik terjadi di Indonesia," kata Olsson.

Olsson mengaku perkawinan usia anak menghambat perkembangan anak. Ia menekankan ada resiko tinggi dalam kehamilan muda bagi kesehatan ibu dan bayi.

Olsson mengatakan penurunan perkawinan usia anak sebesar 10 persen bisa memotong lebih dari dua per tiga tingkat kematian terkait kehamilan usia dini. "Tren itu bisa dibalik dan jika kita berkomitmen bersama mengatasi masalah ini, kita bisa mempercepat kemajuan," kata Olsson.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengatakan, isu perkawinan anak adalah persoalan serius. BPS mencatat, persentase perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun di Indonesia relatif masih tinggi yakni di atas 20 persen. Penurunannya pun cenderung stagnan.

Pada tahun 2015, persentase perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 23 persen. Angka tersebut menunjukkan penurunan tujuh persen dalam periode waktu tujuh tahun.  Berdasarkan data BPS, terdapat indikasi perkawinan usia anak di hampir semua wilayah Indonesia. Provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak tertinggi pada 2015 adalah Sulawesi Barat yakni 34 persen.

Kemudian diikuti Kalimantan Selatan sebesar 33,68 persen, Kalimantan Tengah sebesar 33,56 persen, Kalimantan Barat sebesar 32,21 persen, dan Sulawesi Tengah sebesar 31,91 persen. Ini artinya satu dari tiga anak perempuan di provinsi-provinsi tersebut menikah di bawah umur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement