REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris mengatakan pergantian Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) harus menjadi momentum baru terhadap penanganan kasus kejahatan dan kekerasan pada anak.
Fahira menilai kekerasan seksual pada anak menjadi sama pentingnya dengan pengentasan narkoba, terorisme, dan korupsi, karena rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan tak bisa lagi dianggap kejadian biasa. Presiden Jokowi pun telah memasukkan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.
"Jenderal Tito sebagai Kapolri baru harus punya terobosan baru dalam menangani kekerasan seksual terhadap anak. Karena yang namanya kejahatan luar biasa, penanganannya harus luar biasa juga," katanya.
Fahira yang memang membidangi perlindungan anak menuturkan semua insan Polri pun harus diberi pemahaman bahwa saat ini, penanganan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak sama pentingnya dengan penanganan kasus-kasus narkoba, korupsi, dan terorisme. Oleh karena itu, semua sumber daya yang ada di tubuh Polri, termasuk anggaran, harus dimaksimalkan.
"Pintu awal penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak kan ada di kepolisian, makanya peran Polri sangat penting. Pemahaman semua insan Polri bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak harus ditangani secara serius dan dilakukan secara luar biasa, menjadi mutlak," ujarnya.
"Dengan pengalaman Pak Tito menangani kejahatan terorisme, saya optimistis, di bawah kepemimpinan beliau, Polri akan punya terobosan luar biasa dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak," jelasnya.
Selain itu, Polri juga diharapkan bisa menjadi institusi penegak hukum terdepan dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah ada di DPR.
Dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak, Polri harus mampu memaksimalkan pemberatan dan penambahan hukuman yang ada di dalam Perppu ini, mulai dari hukuman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, hukuman penjara seumur hidup, hukuman mati, dan penambahan pidana seperti kebiri kimia, sebagai dasar hukum untuk menjerat para predator-predator anak.
"Polri dan tentunya Kejaksaan harus mendesain agar tidak ada lagi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman yang biasa-biasa saja terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Apalagi, jika kekerasan seksual dilakukan secara sadis, biadab, berulang-ulang dan mengakibatkan kematian. Bagi saya, ini salah satu parameter keberhasilan Polri nanti dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak, selain pencegahan tentunya," katanya.
Fahira juga hendaknya terus menjalin sinergi dengan kementerian atau lembaga terkait penanganan kekerasan pada anak, Kejaksaan, dan juga BIN.
Ia menambahkan, di waktu mendatang penanganan kekerasan seksual terhadap anak harus menempatkan korban sebagai subyek dan Polri punya mekanisme pemulihan yang jelas bagi korban dan keluarganya.
"Dan mengutamakan hak-hak korban. Saya sangat berharap Polri mampu memberi energi baru bagi bangsa ini untuk melawan bersama segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak," ucapnya.