REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penghapusan Pajak digugat ke Mahkama Konstitusi (MK) apada Rabu (13/7). Tak tanggung-tanggung, UU yang baru disahkan tersebut digugat oleh dua lembaga sekaligus.
Pertama, gugatan dilayangkan oleh Yayasan Satu Keadilan yang diwakili oleh kantor advokat Heri Perdana Tarigan. Kedua, gugatan dilayangkan oleh Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia serta warga, yakni Samsul hidayat dan Abdul Kodir Jailani, yang diwakili oleh LBH Keadilan Jakarta Raya.
"Kita sudah daftarkan ya, ada dua permohonan. Yaitu atas nama Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia ditambah dua warga yaitu Samsul hidayat dan Abdul Kodir Jailani. Satu lagi permohonan atas nama Yayasan Satu Keadilan," kata Direktur Eksekutif LBH Keadilan Jakarta, Sugeng Teguh Santoso saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/7).
Sugeng memaparkan, ada beberapa alasan yang mendasari gugatan yang dilayangkannya ke MK. Pertama, UU Tax Amnesty dianggap mengizinkan praktik legal pencucian uang. Selain itu, tax amnesty juga dianggap memberi prioritas kepada penjahat kerah putih dapat membersihkan diri setelah mengemplang pajak.
"Tax amnesty juga menjadi karpet merah bagi para pengemplang pajak, memberikan 'diskon' habis-habisan terhadap pengemplang pajak dan menggagalkan program whistleblower," kata Sugeng.
Selanjutnya, para penggugat juga menganggap tax amnesty menabrak prinsip keterbukaan informasi. Sugeng juga berpendapat, kebijakan tax amnesty berpotensi dimanfaatkan oleh penjahat perpajakan, dan tidak akan efektif seperti tahun 1964 dan 1986.
Tax amnesty dinilai menghilangkan potensi penerimaan negara dan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap warga miskin. Tax amnesty secara terang-terangan mengajarkan rakyat untuk tidak taat membayar pajak dan sebaliknya memarjinalkan pembayar pajak yang taat.
Menurut Sugeng, diaktifkannya UU Tax amnesty sama dengan menghapus sifat wajib dari pajak. UU Tax Amnesty juga dianggap aneh karena hanya berlaku satu tahun. "Tax amnesty juga memposisikan presiden dan DPR berpotensi melanggar konstitusi," kata Sugeng.
Masalah selanjutnya, UU Tax Amnesty dinilai telah menabrak prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before law). Terakhir, tax amnesty merupakan cermin kelemahan pemerintah terhadap pengemplang pajak yang dapat melumpuhkan institusi penegakan hukum.
"Tax Amnesty patut diduga pesanan para pengemplang pajak karena memberikan hak eksklusif tinggi bagi mereka dan membuat proses hukum pajak yang berjalan menjadi tertunda," kata Sugeng.