REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah melantik Jenderal (Pol), Tito Karnavian, sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Rabu (13/7). Tito bakal menggantikan Jenderal (Pol), Badrodin Haiti, sebagai orang nomor satu di korps Bhayangkara tersebut.
Dalam jabatan yang baru tersebut, sejumlah pekerjaan rumah pun telah menunggu Tito Karnavian. Salah satu yang paling mengemuka adalah kelanjutan pemberantasan terorisme di Indonesia. Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Muradi, pemberantasan terorisme harus tetap menjadi concern Kapolri yang baru. (Baca: Tito Karnavian: Santoso Harus Tertangkap Hidup atau Mati)
Hal ini lantaran belum tertangkapnya jaringan Santoso. ''Selain itu Kapolri yang baru juga dihadapkan pada menguatnya jaringan terorisme yang baru dalam bentuk dan karakteristik serta figur baru, seperti Katibah Nusantara (KN),'' tutur Muradi kepada Republika.co.id, Rabu (13/7).
Tidak hanya itu, Muradi pun menilai, jejaring yang dimiliki oleh KN ini lebih luas ketimbang jaringan Santoso. Terlebih, KN dianggap telah berbait untuk mendukung kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sebelumnya, KN, di bawah kepemimpinan Bachrun Naim, dianggap sebagai aktor utama insiden bom Thamrin pada Januari silam.
''Akan baik jika setelah Santoso tertangkap atau terbunuh, maka bidikan berikutnya adalah menghajar KN yang juga telah berbait ke ISIS,'' kata Muradi.
Sementara terkait penataan internal Polri, Tito diharapkan bisa menata kelola internal dalam ruang gerak yang sama. Hal ini untuk memastikan terselenggaranya keamanan dan ketertiban nasional. ''Serta pelayanan publik di bidang Kepolisian yang prima. Hal ini juga berkaitan dengan tata kelola pendidikan dan pelatihan, penyebaran SDM yang efektif, termasuk di dalamnya kenaikan pangkat dan promosi yang ditentukan oleh rekam jejak yang baik,'' ujar Muradi.