Senin 04 Jul 2016 06:00 WIB

Permintaan Maaf Berharga Jutaan Dolar

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Di bulan Ramadhan ini kita menyaksikan beberapa permintaan maaf dari orang-orang top. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meminta maaf kepada Presiden Turki Recep Tayeb Erdogan. Lalu Erdogan meminta maaf kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.

Berikutnya permintaan maaf dari para pesepakbola top dunia dan para manajer yang gagal mengantarkan tim nasionalnya menjuarai Copa Amerika atau Piala Eropa. Hanya saja risiko permintaan maaf para olahragawan top dunia lebih kecil dibandingkan dengan para politisi seperti Netanyahu dan Erdogan.

Lionel Messi misalnya, permintaan maafnya tidak menyebabkan Argentina tekor miliaran dolar karena kegagalan membawa timnya menjuarai Copa Amerika 2016. Paling pol jutaan rakyat Argentina menangis lantaran gagal berpesta ria. Di negara seperti Argentina di mana masyarakatnya penggila sepak bola, kemenangan di ajang sepak bola dunia akan terasa lebih lezat dibandingkan kemenangan di cabang lain.

Permintaan maaf Messi – juga pemain dan pelatih Timnas Spanyol, Inggris, dan lainnya yang gagal melaju ke perempat final Piala Eropa – tentu berbeda dengan para politisi. Sayangnya, hingga sekarang belum ada mesin kalkulator yang bisa menghitung dengan cepat dan tepat kerugian sebuah negara yang politisinya mengambil kebijakan yang salah. 

Tidak seperti rakyat awam, permintaan maaf para pemimpin dan politisi yang mengambil kebijakan yang salah punya akibat panjang. Antara lain negara (baca: rakyat) yang harus membayar atau menangggung risikonya. Padahal, kalau mereka berpikiran matang dan tidak tergesa-gesa, mungkin saja kebijakan salah itu bisa dihindari.

Lihatlah apa yang telah dilakukan PM Netanyahu ketika memerintahkan pasukan elit Israel untuk membunuh 10 aktivis kemanusiaan Turki pada Juni 2010 lalu. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan ke Gaza dengan kapal Mavi Marmara. Para aktivis itu bermaksud untuk membuka blokade Gaza dan mengirimkan bantuan kemanusiaan.

Akibat dari tindakan biadab PM Israel itu hubungan kedua negara pun memburuk. Selama enam tahun semua pintu tertutup untuk segala pemulihan hubungan. Bahkan dengan tawaran penjualan gas dari Israel sekalipun. Padahal, gas itu sebetulnya sangat dibutuhkan oleh Turki. 

Sejak awal Erdogan memberikan tiga syarat kalau Israel ingin menormalisasi hubungan dengan Turki. Pertama, pemerintah Israel harus meminta maaf secara resmi atas pembunuhan di kapal Mavi Marmara. Kedua, Israel harus membayar uang kompensasi kepada keluarga korban aktivis kemanusiaan tersebut. Ketiga, diperbolehkannya barang-barang bantuan dari Turki masuk ke Jalur Gaza, termasuk pengerjaan proyek-proyek infrastuktur seperti pembangunan instalasi pompa air, penyulingan air bersih, dan pembangkit listrik.

Pada akhirnya, setelah enam tahun lewat, beberapa hari lalu Netanyahu pun bersedia meminta maaf kepada Turki. Sebuah tindakan yang di dalam negeri Israel dikritik sebagai sangat memalukan. Netanyahu juga bersedia membayar ganti rugi sebanyak lebih dari 20 juta dolar AS kepada keluarga aktivis yang terbunuh. Pun pengiriman bantuan ke jalur Gaza, juga disepakati Netanyahu. Namun, di luar itu semua masih ada kerugian lain. Yaitu menguapnya miliaran dolar akibat pembekuan perdagangan kedua negara, terutama penjualan gas dari Israel.

Sementara itu, Presiden Erdogan yang awalnya menolak meminta maaf ketika memerintahkan untuk menjatuhkan pesawat perang Rusia yang terbang di atas perbatasan Turki-Suriah, kini pun melunak. Maklumlah, sebagai presiden dari sebuah negara yang pernah ‘menguasai dunia’ tampaknya ia gengsi untuk meminta maaf. Padahal, mungkin saja keputusannya menjatuhkan pesawat Rusia diambil dengan tergesa-gesa dan tanpa pikir panjang alias emosional.

Kini dengan bahasa yang sangat halus Erdogan pun mengatakan, ‘‘Saya tidak meminta maaf, tapi saya memahami dan menyayangkan (perintah menjatuhkan pesawat Rusia).’’ Ia pun sepakat membayar kompensasi, dengan syarat bukan sebagai ganti rugi. Namun, sebagai bantuan kemanusiaan kepada keluarga pilot. 

Tapi, yang mungkin tidak dipikirkan Erdogan, berapa miliar dolar uang menguap akibat dari hubungan yang memburuk antara Turki dan Rusia? Berapa dana yang menghilang hingga hubungan dua negara kembali seperti semula dan itu membutuhkan waktu hingga tahunan? Berapa dana yang hilang akibat berhentinya hubungan ekonomi dan perdagangan antara dua negara?

Ya, itulah beberapa contoh kesalahan para pemimpin negara yang risikonya dibebankan kepada rakyat. Juga contoh permintaan maaf yang berharga miliaran dolar. Lalu, bila semua itu adalah risiko dari keputusan yang salah dari pemimpin negara, mengapa harus rakyat yang menanggungnya?   

Selain mereka, masih banyak para pemimpin negara yang mestinya meminta maaf namun hinggga sekarang belum melakukannya. Sebutlah nama mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush yang memerintahkan untuk menyerang Irak pada masa Presiden Saddam Husein. Alasan serangan bahwa Saddam Husein menyimpan senjata pemusnah massal hingga kini pun belum terbukti. 

Namun, akibat dari serangan itu Irak kini menjadi berantakan. Serangan itu juga telah menyebabkan -- baik langsung maupun tidak langsung -- tumbuh suburnya kelompok-kelompok teroris yang kini menguasai sebagian wilayah Irak. Akankah Bush meminta maaf? Bila ia meminta maaf, akankah negara itu menanggung ganti rugi keluarga-keluarga yang anggotanya tewas dalam serangan membabi buta itu?

Contoh terhangat tentu saja keputusan Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk menyelenggarakan referendum apakah Inggris keluar dari Uni Eropa atau tetap bergabung. Banyak pihak menilai keputusan Cameron terlalu tergesa-gesa. Alias tidak ada alasan rasional mengapa referendum itu dilakukan sekarang. 

Yang jelas, hasil dari referendum itu telah menyebabkan ekonomi dunia, terutama Inggris dan Uni Eropa, serba tidak menentu. Bila suatu saat Cameron menyesalkan keputusannya dan ia meminta maaf, sudah bisa dibayangkan berapa miliar dolar dana menguap akibat dari kebijakannya itu.

Lalu apa hubungan permintaan maaf tadi dengan Ramadhan? Tentu tidak ada hubungannya. Hanya kebetulan saja permintaan maaf Netanyahu dan Erdogan bertepatan dengan Ramadhan.

Yang justru terkait dengan Ramadhan adalah kita. Ya, kita umat Islam. Sudah menjadi tradisi kita untuk saling memberi dan meminta maaf menjelang dan saat hari raya Idul Fitri. Memberi dan meminta maaf kepada keluarga, teman, handai taulan, serta kenalan. Baik langsung maupun lewat alat komunikasi dalam genggaman kita.  

Caranya pun bermacam-macam. Ada yang lewat pantun, melalui meme, lewat joke, dan seterusnya. Intinya, meminta dan memberi maaf. Harapannya, kita kembali ke fitrah. Idul Fitri. Nol-nol. Tidak punya salah. Sebab, kesalahan yang kita buat dalam lingkungan hidup kita sudah dimaafkan dan termaafkan.

Agama mengajarkan kepada kita kesalahan kepada sesama tidak akan diampuni kecuali telah meminta maaf kepada yang bersangkutan. Sedangkan perbuatan maksiat atau dosa hanya bisa dibebaskan dengan permohonan ampun atau tobat kepada Allah SWT.

Bagaimana dengan pemimpin? Agama mengatakan setiap pemimpin bertanggungjawab kepada yang dipimpinnya. Artinya, setiap pemimpin adalah pemegang kebijakan. Dan, kebijakan pemimpin adalah menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Bila kebijakannya salah, meskipun ia minta maaf, maka rakyat akan tetap merugi. Kerugian rakyat ini akan terus dituntut pertanggung jawabannya dari pemimpin. Di dunia dan akhirat. 

Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement