REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Geger Riyanto menilai warga korban penggusuran di DKI Jakarta akan mengalami kesulitan menyesuaikan diri di lingkungan baru atau rumah susun.
"Persoalannya, perpindahan adalah hal yang tak semudah itu dilakukan. Apalagi ia berpotensi mengganggu kegiatan ekonomi para warga yang dipindahkan," kata dia kepada Republika, Kamis (30/6).
(Baca juga: Penggusuran Ciptakan Teror Bagi Warga)
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengkonfirmasi melakukan penggusuran besar-besaran di 325 lokasi di daerahnya. Alasannya, untuk memudahkan program penanganan banjir. Ahok menyebut, waktu penggusuran bakal disesuikan dengan kyersediaan rusun. Ia optimistis pembangunan rusun mampu menampung relokasi warga korban penggusuran.
Geger menjabarkan, berdasarkan penyelikan salah satu surat kabar nasional beberapa waktu lalu mengungkapkan, harga kontrak semi permanen di pinggir kali, berkisar Rp100 ribu hingga Rp 400 ribu. Sementara harga sewa rusunawa, berdasarkan imformasi yang ia dapat, tidak jauh berbeda dengan rumah semi permanen itu.
Selain itu, Geger mengungkapkan, ada beberapa warga yang membeli rumah pinggiran sungai dengan kisaran Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Pembelian tersebut, ia mengatakan, dilakukan dengan cara yang mungkin sulit dibayangkan. Seperti, dengan slip tanda bayar, tanpa sertifikat atau kepemilikan.
Menurutnya, bagi warga yang selama ini menghuni bantaran sungai dan terbiasa dengan harga sewa atau beli tersebut, penyewaan rusun seharusnya masih dapat terjangkau. Namun, ia mengingatkan, pemindahan korban relokasi berpotensi mengganggu kegiatan ekonomi para warga itu.