REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak lagi disertakan dalam pengawasan terhadap pengadaan sediaan farmasi, termasuk obat dan vaksin, sejak tahun 2014.
Menurut Plt Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan, hal itu sesuai dengan tiga peraturan menteri kesehatan (Permenkes) yang mengatur ihwal tersebut.
Pertama, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Kedua, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Ketiga, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Namun, lanjut dia, pengawasan pun sudah sukar dilakukan BPOM sebelum terbitnya tiga beleid tersebut. Sebelum tahun 2014, BPOM mengawasi langsung pengadaan sediaan farmasi di apotek, rumah sakit, dan puskesmas seluruh Indonesia.
"Sebelumnya juga kita agak sulit masuk memang. Sebelumnya bisa (diawasi BPOM). Tetapi waktu itu juga sudah mulai susah. Makanya mungkin dibuatkan peraturan itu. Susah masuk. Itu kan punya orang," papar Tengku Bahdar Johan saat ditemui di kantor BPOM, Jakarta, Kamis (30/6).
Hingga kini, lanjut dia, indikasi peredaran vaksin palsu juga kian bertambah. Bila sebelumnya ada sebanyak 28 sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pengadaan vaksin di luar jalur resmi. Kini, sudah mencapai jumlah 37 sarana pelayanan kesehatan.
Namun, menurut Tengku, hingga kini pihaknya melalui balai-balai besar POM terkait masih terus melakukan pengujian terhadap sampel vaksin yang dibeli di luar jalur resmi itu. Ia enggan menegaskan bahwa vaksin itu palsu.
Dia pun enggan menyebutkan, provinsi mana saja yang mencakup ke-37 sarana pelayanan kesehatan tersebut. Tengku memaparkan, BPOM sensitif dalam mengungkap nama-nama sarana tersebut. Sebab, yang berwenang untuk membuka nama-nama itu adalah Kemenkes.
"Yang pasti, 28 lebih lah. Belum pasti. (Ada) 37 atau berapa. (Sarana pelayanan kesehatan) kecil-kecilan. Tak ada RS (rumah sakit) besar."
Adapun yang membuat galau BPOM, lanjut Tengku, ialah permintaan Komisi IX DPR-RI yang menginginkan agar BPOM mengungkapkan isi dan dampak vaksin palsu yang kasusnya sedang ditangani kepolisian.
Sejak kemarin, ujar Tengku, pihak Bareskrim Polri sudah memberikan sampel kandungan vaksin palsu kepada BPOM untuk diteliti. Namun, hasilnya tidak boleh dibeberkan ke publik lantaran itu merupakan barang bukti penyidikan.
"Sekarang kita lagi bingung karena Bareskrim tidak membolehkan untuk itu (sampel vaksin palsu menjadi) konsumsi umum. Kita sedang berkoordinasi. Karena itu kan barang bukti. Itu dilindungi oleh KUHAP, tidak boleh dikonsumsi umum."
(Baca juga: Tasikmalaya Bebas dari Peredaran Vaksin Palsu)