Kamis 30 Jun 2016 12:13 WIB

Penggusuran Ciptakan Teror Bagi Warga

Rep: umi nur fadhilah/ Red: Esthi Maharani
 Warga Kampung Luar Batang korban penggusuran melintas diantara reruntuhan di Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (19/4). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga Kampung Luar Batang korban penggusuran melintas diantara reruntuhan di Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (19/4). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengkonfirmasi akan melakukan penggusuran di 325 lokasi dengan alasan memudahkan program penanganan banjir di DKI Jakarta.

Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Geger Riyanto menuturkan, citra pemerintah menggusur sejumlah kawasan, menjadi teror bagi warga di daerah kumuh.

"Dengan citra penggusuran yang terlihat di media, mengumumkan, pemerintah akan menggusur jauh lebih banyak dalam beberapa waktu ke depan, dapat ditafsirkan sebagai teror kepada warga," kata dia kepada Republika, Kamis (30/6).

Geger menjelaskan, pertumbuhan jumlah hunian di Jakarta memang tampak sangat timpang dibanding jumlah penduduknya. Berdasarkan data BPS 2014, selisih permintaan dan pasokan rumah di Indonesia mencapai 13,5 juta unit.

"Tren Jakarta seharusnya mencerminkan gejala nasional ini," ujar dia.

Salah satu faktor penyebab pertumbuhan tersebut, menurut Geger, adanya ketimpangan ekonomi antara Jakarta dengan daerah lain. UMR Rp 3,1 juta, merupakan angka yang mencengangkan bagi masyarakat di luar Jakarta sehingga tingkat urbanisasi pun meningkat. Maka tidak mengherankan apabila hunian tanpa izin menjadi pilihan bagi para pendatang.

"Mereka datang bukan untuk mengeluh melainkan mempertaruhkan nasib sehingga bukan hal yang perlu diherankan mereka tak bermasalah dengan hunian kumuh," kata Geger.

Meski begitu, pemerintah seharusnya mulai berefleksi dengan mencari cara memperlakukan warga daerah kumuh tanpa memberikan teror. Sebab, ia menjabarkan, beberapa kejadian menunjukkan, pemerintah memindahkan warga tanpa dimusyawarahkan dengan masyarakat terlebih dahulu. Bahkan, menurutnya, studi pendahuluan tak dilakukan.

"Hal ini, wajar saja, menyebabkan usaha perlawanan yang kuat (dari masyarakat), betapa pun pemerintah mengatakan hunian mereka ilegal," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement