REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teknologi Mini Terminal LNG di Benoa, Bali, yang diresmikan Presiden Jokowi pada 11 Juni lalu mampu membantu pemerintah menghemat anggaran hingga Rp 1,2 triliun per tahun. Itulah manfaat dari konversi bahan bakar solar dengan menggunakan gas mampu menghemat biaya untuk pembangkit listrik berkapasitas 200 Mega Watt.
Dengan penghematan sebesar itu, bisa dibayangkan betapa besar penghematan keuangan negara dalam program listrik 35.000 MW ini. Pakar listrik dari Universitas Indonesia Prof Dr Iwa Garniwa yang juga Kepala Pusat Kajian Energi Universitas Indonesia menilai, PT PLN Persero memang harus terbuka terhadap berbagai pilihan sumber pembangkit listrik. Jangan terus bergantung ke batubara atau bahan bakar minyak.
"Betul sekali PLN harus terbuka menerima apapun bahan bakar pembangkitnya karena PLN sebagai operator dapat penugasan oleh Negara dalam melistriki nasional. Disamping itu PLN juga harus mengikuti perkembangan teknologi pembangkitan," ujar Iwa, saat dihubungi wartawan, Selasa (28/6).
Iwa setuju bila PLN menggunakan floating storage regasification unit (FSRU) atau yang lebih murah seperti, 'floating facility' atau fasilitas terapung untuk mini receiving LNG. Mini receiving berkapasitas 50 mmscfd (million metric standard cubic feet per day) ini dapat mensuplai gas untuk pembangkit listik berkapasitas 200 MW. Teknologi mini receiving pengerjaannya lebih cepat, lebih murah, dan tentu saja efisien.
"PLN harus memikirkan memilih pembangkit listrik murah sehingga tarif dasar listrik terjangkau masyarakat dan ada serta andal," kata dia.
PLN menurut dia, juga wajib mendukung sikap Presiden Jokowi yang juga sudah memberi dukungan dengan penggunaan energi ramah lingkungan. PLN juga bisa menerapkan mini receiving LNG untuk PLTGU yang sekarang tengah dikebut pengerjaanya, yakni di Gorontalo, Pontianak, dan Bangka.
Presiden Jokowi ketika meninjau PLTG Gorontalo pada 3 Juni lalu, sudah meminta PLN mendiversifikasikan bahan bakar atau tenaga penggerak pembangkit listrik tidak hanya pakai solar saja. Kata Jokowi, untuk mengejar penyediaan pasokan listrik di daerah yang sangat kekurangan listrik maka PLTG, merupakan cara paling cepat karena hanya memerlukan waktu tujuh bulan dari konstruksi hingga pemasangan mesin.
"Ini kualitas pengerjaannya bagus. Kalau masuk saja sudah bersih, tidaak ada corat coret, ini saya harus ngomong apa adanya, managemennya bagus dan kualitas pengerjaannya juga baik," kata Jokowi mengomentari pengerjaan PLTG Gorontalo.
Iwa mengaku setuju dengan Presiden. Penggunaan gas lebih ramah lingkungan ketimbang menggunakan bahan bakar minyak atau batubara. "Pemerintah sudah turut tanda tangan tentang ramah lingkungan," ucap dia.
Pengamat Energi sekaligus Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Yogyakarta, Fahmy Radhi meminta pemerintah menyusun insentif swasta yang mampu menyiapkan teknologi untuk mendukung tersedianya pasokan listrik, termasuk FSRU. "Kalau teknologi FSRU efisien akan terjadi penghematan besar, saya kira swasta harus masuk juga. Kita tidak bisa mengandalkan pemerintah saja, kalau ada teknologi itu harus didorong bahkan kalau ada swasta masuk diberi insentif," kata dia mengakhiri.