REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan pemerintah sebagai pembuat aturan juga harus mempertanggungjawabkan peredaran vaksin palsu yang berlangsung cukup lama.
"Praktik pemalsuan sampai 13 tahun dan sudah beredar di seluruh Indonesia. Kemenkes dan Badan POM bisa dikatakan tidak menjalankan fungsinya, sesuai kapasitas yang dimilikinya," kata Tulus melalui pesan tertulis di Jakarta, Senin (27/6).
Tulus mengatakan kasus vaksin palsu yang terbongkar tidak bisa dianggap main-main. Dampak vaksin palsu yang bisa berjangka panjang dan fatal bisa membuat masyarakat resah. Karena itu, tidak cukup pelakunya saja yang dihukum.
Pemerintah juga harus ikut bertanggung jawab karena penggunaan vaksin tidak bisa langsung oleh masyarakat, tetapi melalui institusi dan tenaga kesehatan. "Karena itu, institusi kesehatan juga harus dimintau pertanggungjawaban bila terbukti memberikan vaksin palsu kepada pasien," ujarnya.
Kasus peredaran vaksin palsu, termasuk di institusi kesehatan milik pemerintah juga menunjukkan ada ketidakberesan dalam proses pengadaan barang dan jasa. "Patut diduga lelang untuk pengadaan barang dan jasa tidak melalui proses yang benar dan berpotensi ada tindak korupsi oleh pejabat penbuat komitmen di Kemenkes," tuturnya.
Karena itu, Tulus mengatakan YLKI mendorong dan mengajak masyarakat untuk melakukan gugatan "class action" yang ditujukan kepada Kementerian Kesehataan, Badan Pengawas Obat dan Makanan serta institusi terkait lainnya terutama bagi orang tua yang anaknya dilahirkan pada kisaran 2004 ke atas.
"Karena anak dengan kelahiran 2004 dan seterusnya, berpotensi menjadi korban vaksin palsu. YLKI siap memfasilitasi gugatan 'class action' tersebut, guna memberikan pelajaran kepada pemerintah karena lalai tidak melakukan pengawasan, dan masyarakat menjadi korban akibat kelalaiannya itu," katanya.