Rabu 22 Jun 2016 22:23 WIB

Masyarakat Dinilai Masih Gagap Tanggap Bencana Alam

Rep: Sonia Fitri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Warga dan sejumlah kendaraan melewati genangan air yang membanjiri jalur utama pantura di Kendal, Jateng, Minggu (19/6).
Foto: Antara/R. Rekotomo
Warga dan sejumlah kendaraan melewati genangan air yang membanjiri jalur utama pantura di Kendal, Jateng, Minggu (19/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Keuangan sekaligus Ahli Sosiologi Imam Prasodjo meminta Presiden Joko Widodo memosisikan diri sebagai instruktur penjaga keselamatan perjalanan mudik lebaran 2016. Presiden harus mengawal secara langsung mengingat masyarakat yang saat ini masih gagap merespons bencana alam.

"Tiga belas hari lagi lebaran, ada ancaman banjir dan longsor di sejumlah kawasan dan perjalanan mudik, kita tidak boleh menyikapinya dengan biasa-biasa saja," kata dia dalam Media Briefing tentang Antisipasi Banjir di Momen Mudik Lebaran, Rabu (22/6). 

Presiden, lanjut dia, harus mengkoordinasikan penyiapan Disaster Manajemen di waktu yang singkat jelang mudik. Peran BMKG dan lembaga lingkungan lainnya menjadi sentral dan harus disambungkan dengan eksekutor sepwrtj Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan, Pemerintah Daerah dan kepolisian.

Dalam pengamatannya, masyarakat masih gagap ketika misalnya longsor terjadi di suatu wilayah. "Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, harus ke mana perginya, harus koordinasi sama siapa, siapa yang pegang komando, masih bingung," tuturnya.

Padahal community prepareness harus dilatih guna meminimalisir dampak buruk bencana. Kebanyakan bencana alam makan korban bukan disebabkan kejadian alamnya tapi karena kepanikan masyarakat yang mengalami. Jika hal tersebut tidak diperhatikan, ia memperediksi terjadi peningkatan korban jiwa di momen lebaran 2016 dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari sisi dampak perubahan iklim, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati memprediksi, kenaikan muka air laut kawasan pesisir pantai Asia Tenggara di tahun 2050 akan mencapai hingga 50 cm dan 100 cm di tahun 2090. Kota-kota besar di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh, Manila, dan Yangon, akan terkena dampak yang paling besar.

"Akan meningkat pula kerentanan aquaculture, pertanian, tangkapan ikan, meningkatnya intensitas angin puting beliung tropis, serta intrusi air laut," tuturnya. Karena itu, upaya antisipasi yang dilakukan dapat melalui adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Upaya tersebut dapat didukung dengan transfer teknologi, pendanaan dan peningkatan kapasitas.

Dampak perubahan iklim, lanjut dia, akan semakin memperburuk kejadian bencana dari segi intensitas dan kuantitas. Upaya integrasi  pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim ditujukan untuk mengurangi potensi kerugian dan tingginya biaya atau investasi pembangunan maupun pemulihan wilayah bencana. Upaya integrasi mencakup kebijakan dan kelembagaan, pendanaan, program dan kegiatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement