Oleh: Angga Indrawan, Wartawan Republika Online
Di tepi jalan aspal yang tergenang, Risna (33 tahun, bukan nama sebenarnya), duduk di bangku warung kaki lima setengah tertutup. Di bangku panjang tanpa sandaran itu, duduknya sedikit membungkuk, menawarkan pemandangan menggoda dari model kaus berdada rendah. Senyum genit dilempar untuk siapa pun yang lewat. Perempuan berambut ikal itu menunggu tamu pria yang tak tahu kapan datangnya.
Kabut tipis menggayut menyelip hawa dingin menusuk kulit. Tak terasa malam telah menunjukkan pukul 01.00 WIB. Sedari sore hujan mengguyur persimpangan pintu kereta Jalan Kartini, Depok, Jawa Barat. Sejam lalu, kereta terakhir Jakarta-Bogor melintas mengakhiri hari yang padat.
Sudah tiga jam Risna duduk di sana. Wangi parfumnya hampir menguap, dijinakkan asap tembakau dan bau pernis toko mebel dekat sana. Merah bibir sesekali ditengoknya lewat cermin kecil yang dibawa, warna gincu belum memudar. Sepuntung rokok dicabut dari kantong jeans yang sobek di bagian lutut kiri. Rokok itu sepuntung terakhir miliknya. Rokok yang sempat ia matikan dua jam lalu, namun terpaksa kembali dihisap membunuh kebosanan.
Sesekali ia berkirim sms ke orang tuanya, menanyakan kabar sang anak yang tertidur pulas di kontrakannya. Selagi 'mencari tamu', anak Risna yang masih berusia enam tahun dititip pada sang nenek di kontrakan kecil tak jauh dari tempat 'mangkalnya'.
Jalan Kartini, jalan yang menghubungkan jalan utama Margonda Raya ke Pasar Depok Lama, menjadi lokasi 'hitam' Depok yang sebelumnya bangga mengikrarkan diri sebagai Kota Layak Anak. Lokasi prostitusi terselubung itu sudah lama mewarnai Depok meski tak jauh dari sana terdapat sekolah yang mestinya suci semata-mata untuk pendidikan. Dan hanya beberapa ratus meter dari sana, kantor pemerintah kota Depok berdiri. Di Jalan Kartini, geliat aktivitas terlarang dilakoni enam hingga tujuh perempuan malam. Tak ada istilah 'Mami' di sana, masing-masing PSK punya jalan menentukan jam kerja dan tamunya.
Menjadi pekerja seks komersial dianggap sebagai jalan terakhir bagi janda Risna mencari nafkah menghidupi anaknya. Baginya, bukan perkara mudah menghidupi buah hati di tengah situasi ekonomi yang makin pelik. Keputusan ini diambil Risna setelah sang suami meninggal karena sakit beberapa tahun lalu. Tak ada warisan, sang suami hanya meninggalkan putri kecil yang mesti diasuhnya seorang diri.
Risna paham betul bahwa Wiwin (bukan nama sebenarnya), sang anak, tak pernah berharap untuk dibesarkan, dididik, diasuh, lewat tangan seorang pelacur. Risna yakin betul, sang anak suatu saat nanti tak bisa membayangkan ibunya dikejar satpol PP dalam satu razia dadakan. Namun Risna berikrar dalam hati, kisah kelam cukup jadi garis hidup untuk dirinya.
"Dan Insya Allah, pendidikan, juga bekal agama, jadi hal utama untuk anak saya," ujar Risna kepada Republika.co.id, dalam satu kesempatan di kediamannya di salah satu kecamatan di Depok.
Pendidikan di Mata Sang Penggincu
Meski hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar, Risna sadar betul bahwa pendidikan merupakan gerbang masa depan bagi anaknya. Pagi hari, sebelum mentari merekah, Risna sudah pulang--sebisa mungkin sebelum sang anak membuka mata. Di saat itulah Risna menyiapkan seragam sekolah anaknya. Risna belum ingin anaknya tahu bahwa dunia begitu kejam dilaluinya. Risna tak ingin Wiwin tahu tidur singkatnya adalah malam yang begitu panjang untuknya.
Di satu sisi, Risna pun mengaku bersyukur bahwa tetangga dan warga di lingkungannya tak mempersoalkan profesinya sebagai perempuan malam. Risna terharu, para tetangga, guru mengaji anaknya, hingga orang tua teman-teman anaknya, meskipun tahu profesinya, tak pernah bercerita apapun kepada sang anak.
"Saatnya nanti pasti saya cerita. Tapi sebelum sampai ke sana, saya berharap berhenti, bertaubat dan menyudahi dunia ini," ujar Risna yang mengaku telah berupaya mencari ayah untuk anaknya.
Tiap hari Risna berusaha menjadi seorang ibu yang baik untuk sang anak. Selain mengantarkan sekolah, Risna juga kerap membelikan banyak buku bacaan untuk anaknya. Selain untuk menambah bekal pengetahuan, ini agar sang anak tak tak pernah punya kesempatan mempertanyakan apa pekerjaan dirinya.
"Malu, saya ingin Wiwin cuma tahu bahwa saya telah memberikan yang terbaik untuk dia," ujarnya.
Gadis Kecil yang Wajib Diselamatkan
Kisah Risna dan anaknya, menurut Psikolog Anak dan Keluarga Universitas Indonesia, Rosmini, merupakan catatan serius bagi siapapun yang memiliki kepedulian bagi pendidikan anak-anak Indonesia. Menurutnya, banyak pembenaran yang sering dilakukan seorang ibu tetap melacur dengan alasan anak. Padahal, menurutnya, lingkungan prostitusi akan jauh lebih mengancam perkembangan seorang anak.
Bagaimanapun, kata Rosmini, tumbuh kembang anak akan begitu rentan jika ia tumbuh besar di lingkungan prostitusi. "Tak ada tawaran, seorang ibu harus menyadari betul bahwa apa yang dilakukannya hari ini adalah sebuah kesalahan," ujarnya kepada Republika, belum lama ini.
Menurutnya, pada usia lima tahun, seorang anak memiliki kepekaan tentang apa yang terjadi dalam lingkungannya. Menurutnya, di usia itulah seorang anak mulai memperhatikan suatu hal yang benar dan salah. Lingkungan sekitar, menurutnya, juga akan memberi banyak pengalaman visual yang akan mengantarkan sang anak mengetahui apa yang dilakukan oleh ibunya.
"Dan pada saatnya sang anak mengetahui apa yang dikerjakan ibunya, di saat itulah secara psikologis sang anak dalam kebingungan dan tentu akan mengganggu perkembangannya," kata Rosmini.
Menurutnya, sang ibu, harus mengawali dengan niat. Baginya, seorang ibu harus memiliki tekad kuat untuk menjadikan dirinya sebagai contoh sempurna dalam membimbing, mendidik, dan memberi nilai-nilai moral yang baik kepada anaknya.
"Sang ibu harus menjadi orang tua yang mampu menguatkan perannya dalam mendidik anak," tegasnya.
Meminjam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Indonesia dinyatakan dalam kondisi lampu merah kejahatan seksual terhadap anak. Data yang dilansir UNICEF, 1 dari 10 anak perempuan di dunia telah menjadi korban kejahatan seksual.
Wakil Ketua KPAI, Susanto mengatakan, dari hari ke hari anak korban kejahatan seksual terus terjadi, bahkan korban hingga dibunuh dan dimutilasi. "Sudah saatnya alarm bahaya kejahatan seksual terus disuarakan," ujarnya dalam satu kesempatan.
Dalam sebuah kajian, KPAI menyebut salah satu dari enam enam penyebab prostitusi adalah pengaruh lingkungan. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap diri seseorang. “Tak sedikit yang terjerumus ke prostitusi karena pengaruh lingkungannya,” ujar Susanto.
KPAI, kata dia, terus mendorong perbaikan sistem perlindungan anak mulai elemen terkecil. Keluarga, tegas dia, tak boleh lengah. Keluarga tak boleh permisif, RT dan RW tak boleh lalai. Susanto memahami kasus anak dan prostitusi tak bisa hanya diserahkan kepada polisi atau lembaga pengaduan. Menurutnya, saatnya mulai dari lingkungan terdekat, perbaiki pola asuh, perkuat ketahanan keluarga, perkuat kontrol sosial.