Jumat 17 Jun 2016 06:00 WIB

Tito

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Saya tak mengenalnya secara pribadi. Hanya pernah beberapa kali bertemu, itu pun dalam suatu acara. Perawakannya ramping, senyumnya mudah mengembang, tidak tinggi, matanya tajam. Jika sedang tak berseragam kita tak mudah mengenali bahwa dirinya polisi. Namun reputasi pria asli Palembang ini sudah pernah saya dengar sejak masih perwira menengah. Artinya dia termasuk polisi yang moncer sejak awal. Orangnya proaktif dan berani tampil. Kecerdasannya akan terlihat ketika tampil mempresentasikan sesuatu. Salah satunya saat menjelaskan tentang bom Sarinah.

Penentuan Komjen Pol Tito Karnavian sebagai calon tunggal kepala Polri oleh Presiden Joko Widodo hanya tinggal menunggu keputusan DPR. Sesuai undang-undang, pengangkatan Kapolri harus melalui persetujuan DPR. Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti) Polri telah mengusulkan tiga nama ke Presiden, ternyata Presiden memilih satu saja untuk dimintakan persetujuan ke DPR. Lembaga perwakilan rakyat ini diperkirakan akan menyetujui usulan Presiden. Selama ini yang ada upaya untuk mengegolkan calon tertentu hanya PDIP, yakni memperjuangkan Komjen Pol Budi Gunawan, yang saat ini menjadi wakil kepala Polri. Budi adalah mantan ajudan Megawati Soekarnoputri saat menjadi Wapres dan Presiden.

Nama Budi sempat diusulkan menjadi calon tunggal kapolri oleh Jokowi. DPR pun menyetujuinya. Namun kemudian muncul penolakan dari aktivis anti-korupsi. KPK pun menetapkannya sebagai tersangka. Situasi ini menimbulkan kegaduhan di lingkungan internal Polri. Terjadi pergantian kabareskrim dari Suhardi Alius ke Budi Waseso. Kemudian giliran Polri menetapkan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, masing-masing selaku ketua dan wakil ketua KPK, sebagai tersangka. Budi mengajukan praperadilan terhadap pentersangkaan dirinya dan memenangkan gugatannya. Samad dan Widjojanto dicopot dari jabatannya di KPK.

Badrodin Haiti yang dikenal adem dan nonpolitik, yang kemudian menjadi kapolri, harus menata kepolisian. Kini, Badrodin segera memasuki masa pensiun. Nama Budi kembali disorongkan lagi. Namun diam-diam tetap ada friksi di dalam. Muncul opsi perpanjangan masa tugas Badrodin. Akhirnya Tito yang kini melenggang sendirian. Tito adalah lulusan Akademi Kepolisian 1987 dan menjadi lulusan terbaik. Saat di PTIK pun lulus terbaik. Sedangkan Badrodin lulusan 1983. Sehingga naiknya Tito ini melewati banyak seniornya. Tito masih memiliki masa dinas yang panjang. Ini merupakan tradisi baru di Polri sejak era reformasi. Di masa Soeharto, panglima TNI dan kapolri biasa menjabat lima sampai sepuluh tahun. Ini untuk memudahkan konsolidasi. Sedangkan di masa reformasi, pergantian kapolri demikian sering. Jadi semacam pergiliran saja.

Tito gemar sekolah. Ia pernah kuliah di Inggris, Selandia Baru, dan Singapura. Ia pernah menjadi kapolda di Papua dan DKI Jakarta. Saat ini menjabat sebagai kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Ia juga pernah menjadi komandan Densus 88, yang memerangi terorisme. Ia juga pernah mengepalai reserse ekonomi atau kriminal khusus. Ia berhasil menangkap Tommy Soeharto, Azhary, dan Noordin M Top. Tito termasuk berkarier meroket. Ia baru tiga bulan berbintang tiga, namun dengan menjadi kapolri ia segera berbintang empat. Para jenderal bintang tiga yang akan menjadi anak buahnya adalah para seniornya, termasuk Budi yang masih menjadi wakapolri. Budi Waseso, kepala BNN, sempat dirumorkan akan menjadi kandidat alternatif jika kompatriotnya, Budi Gunawan tak menjadi kapolri.

Secara politik, naiknya Tito ini juga menunjukkan bahwa Jokowi benar-benar ingin mandiri dari Megawati. Ia tak mau menjadi presiden petugas partai. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Institusi kepolisian terlalu strategis untuk diserahkan ke figur yang loyalitas pribadinya tak ia yakini. Polri tak hanya bermakna bagi urusan keamanan, tapi juga sangat strategis secara politik. Sebagai ilustrasi, saat menjadi kapolda Metro Jaya, Tito banyak memberi keuntungan politik bagi Ahok. Hal ini karena Tito turun langsung dalam menyelesaikan penggusuran di Kampung Pulo dan Kalijodo. Hal itu berbeda saat penggusuran di Pasar Ikan dan aksi demo pengemudi taksi. Saat itu Tito sudah tak lagi menjadi kapolda dan kapolda yang baru tak terjun sendiri dan sedang sertijab di Bandung. Untuk dua kejadian ini Ahok cukup dibuat kelimpungan. Juga untuk aksi penyegelan pulau buatan oleh nelayan.

Dalam lingkup yang lebih sempit saja jabatan kepala polisi bisa memberi keuntungan politik bagi kepala pemerintahan, apatah lagi dalam lingkup nasional. Apalagi jika benar bahwa Jokowi ingin maju dalam pemilihan presiden pada 2019. Karena itu pilihan terhadap Tito merupakan pilihan politik yang strategis dan rasional. Jokowi butuh proteksi buat dirinya.

Kini, semua pekerjaan rumah politik Jokowi telah selesai satu per satu. Koalisi Merah Putih sudah lenyap secara tuntas. Berawal dari tak efektifnya KMP sejak pecahnya Golkar dan PPP hingga kedua partai itu sudah bersatu lagi dan mendukung pemerintah. PAN sudah diakomodasi dengan naiknya Soetrisno Bachir sebagai ketua KEIN. Kini, konsolidasi di Polri sudah mulai tuntas. Yang tersisa adalah pengumuman reshuffle kabinet, mungkin setelah Lebaran.

Selanjutnya, kita menunggu kegesitan Tito, kemampuannya melakukan persuasi ke masyarakat, kecerdasannya dalam mengurai masalah, dan efektivitas kepemimpinannya. Terlalu banyak tantangan kepolisian. Ada masalah narkoba yang makin menggurita dan makin banyak melibatkan aparat hukum. Kriminalitas yang makin canggih, kejahatan terhadap anak dan perempuan, korupsi yang tak bisa dibasmi KPK, penyelundupan yang menghancurkan ekonomi nasional, kejahatan bersenjata, kejahatan yang kian sadis, kejahatan korporasi yang makin tanpa tedeng aling-aling. Yang tak kalah penting adalah menaikkan kredibilitas kepolisian di mata publik. Dalam konteks ini, Tito harus hati-hati terhadap godaan politik.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement