REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas Mandailing Perantauan kembali unjuk rasa ke Kementerian ESDM, Kamis (16/6). Mereka tetap meminta Pemerintah mencabut izin perusahaan panas bumi di Mandailing Natal, karena selama ini membohongi rakyat dan mengadu domba, hingga persaudaraan antarkampung menjadi retak.
Unjuk rasa berlangsung di Kantor Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jalan Pegangsaan Timur, No.1, Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, sedang berlangsung pertemuan antara Dirjen EBTKE, Rida Mulyana dengan DPRD dan wakil Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal.
Dimulai dari pukul 10.00 wib dan berakhir jelang Shalat Zuhur, unjuk rasa ratusan warga perantauan itu menarik perhatian warga di sekitar Cikini, karena diwarnai penabuhan Gordang Sambilan, kesenian khas Mandaling Natal. Komunitas Mandailing Perantauan diterima Direktur Panas Bumi, Yunus Saefulhaq dan tiga petinggi Kementerian ESDM lainnya.
Usai pertemuan, koordinator demo, Alfian Siregar, mengatakan Komunitas Mandailing Perantauan akan melanjutkan demo ke Kantor Kemenko Polhukam dan Istana Presiden, karena pertemuan Dirjen, DPRD, dan wakil Pemkab Mandailing Natal, yang berlangsung dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 13.00 itu, tidak lebih dari sosialisasi keinginan Kementerian ESDM.
Koordinator Komunitas Mandailing Perantauan itu melihat banyak kejanggalan pada pertemuan tersebut. Pertama, Bupati tidak hadir, hanya diwakili Kepala Dinas Pertambangan. Wakil dari masyarakat tidak ada. Yang lengkap hanya unsur DPRD.
Alfian juga menyayangkan sikap Ketua DPRD dan anggota DPRD yang datang ke Jakarta. “Sudah tahu rakyatnya unjuk rasa, mereka malah menghilang. Apa mereka cuma mau dengar kepentingan parpolnya saja?” kata dia.
Sebelumnya, Komunitas Mandailing Perantauan telah berunjuk rasa ke Kantor Kementerian ESDM pada Rabu, 18 Mei 2016 dan ke Kementerian Koordinator Perekonomian pada Kamis (2/6). Menurut Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Ir. Sujatmiko, pertemuan di Kantor EBTKE Cikini merupakan rapat koordinasi antara Dirjen dan unsur Pemerintah Kabupaten untuk menindaklanjuti hal tersebut.
“Bukan untuk sosialisasi,” kata Alfian.
Itu sebabnya, Alfian Siregar mengatakan, Komunitas Mandaling Perantauan tetap pada dua tuntutan utama: Pertama, agar Pemerintah mencabut izin PT Sorik Marapi Geothermal Power (PT SMGP) karena membohongi warga Mandailing dan hanya menjadi agen jual beli perizinan panas bumi. Kedua, menolak kehadiran PT KS Orka, pengakuisisi 100 persen saham PT SMGP, karena tidak jelas rekam jejaknya dan investasinya di dunia eksplorasi panas bumi.
Sama dengan tuntutan pada dua unjuk rasa sebelumnya, Komunitas Mandailing Perantauan, meminta Pemerintah membatalkan Izin Panas Bumi (IPB) PT Sorik Marapi Geothermal Power, karena sembilan alasan: Pertama, Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT SMGP telah dicabut Bupati Kabupaten Mandailing Natal pada 9 Desember 2014.
Kedua, PT Sorik Marapi Geothermal Power membohongi atau tidak memberi tahu Kementerian ESDM bahwa IUP-nya telah dicabut. Itu sebabnya direkomendasi memperoleh Izin Panas Bumi (IPB) dari Kementerian ESDM pada 21 April 2015.
Ketiga, setelah memperoleh IPB dari Kementerian ESDM, PT SMGP menjual 100 persen perusahaan ini KS Orka Renewables Pte Ltd Singapura (KS Orka) pada April 2016, dengan nilai 10 juta dolar AS atau sekitar Rp 132 miliar.
Keempat, PT Sorik Marapi Geothermal Power memperoleh IUP dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal pada 2 September 2010 karena pada setiap portofolio dan ekspos, mereka menyatakan sanggup memproduksi listrik 450 MW dari panas bumi Gunung Sorik Marapi dan telah mencadangkan investasi 850 juta dolar AS atau sekitar Rp 11 triliun.
Kelima, PT SMGP tidak pernah memproduksi apa pun di Mandailing Natal. Selain membangun perkantoran, mereka hanya melakukan pembelian lahan warga di lima kecamatan Mandailing Natal (Tambangan, Panyabungan Barat, Lembah Sorik Marapi, Panyabungan Selatan, dan Puncak Sorik Marapi).
Keenam, pembelian lahan tersebut bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan No. 568 Tahun 2012, yang hanya menoleransi pemakaian untuk eksplorasi 14 hektare, jalan 20 hektare, dan pipa 2 hektare.
Ketujuh, karena tidak adanya sosialisasi dan adanya pengetahuan masyarakat bahwa kegiatan tersebut sangat berbahaya dilakukan di sekitar gunung yang masih aktif, kehadiran PT SMGP telah ratusan kali diprotes masyarakat.
Kedelapan, PT SMGP, kemudian, mengontrak sebuah perusahaan untuk mendiamkan masyarakat. Warga pun diadu domba. Warga, yang umumnya, masih memiliki kekerabatan antara satu desa dengan desa yang lain, dirasuki saling curiga. Puncaknya pada 11 November 2014, aksi ribuan masyarakat memblokir jalan lintas Sumatera ditantang warga yang lain: Seorang tewas dan belasan lainnya digelandang ke Kantor Polisi.
Kesembilan, Komunitas Mandailing Perantauan juga menolak kehadiran PT KS Orka, pengakuisi 100 persen saham PT SMGP, karena tidak memiliki rekam jejak yang jelas pada eksplorasi panas bumi dan tidak memiliki cadangan investasi yang jelas untuk mewujudkan proyek panas bumi di Mandailing Natal.