REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono berpendapat, praktik politik uang masih akan menghantui pemilihan kepala daerah serentak pada Februari 2017.
"Regulasi pilkada serentak tidak menyediakan mekanisme yang kuat untuk menghentikan praktik politik uang (money politics)," kata Teguh di Semarang, Rabu (15/6) sore.
Regulasi yang dimaksud alumnus Flinders University Australia itu adalah Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Perpu No.1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Teguh menegaskan demokratisasi dengan revisi yang baru itu belum memungkinkan membuka peluang orang baik dan sukses memimpin daerah.
Hal ini karena dominasi partai politik melalui seleksi calon kepala daerah dan kandidat wakil kepala daerah. Selain itu, pengaturan melalui komisi-komisi yang harus didengarkan dan dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurut dia bisa dimaknai sebagai intervensi parpol dalam teknis penyelenggaraan pilkada serentak.
"Walaupun ada perbaikan regulasi di sana-sini, substansi masalah yang dihadapi masih sama, yakni mampukah menghasilkan pemimpin yang baik dan kredibel serta menghentikan dampak negatif pilkada langsung, khususnya 'money politics'?" katanya.
Dosen Ilmu Pemerintahan Undip Semarang itu lantas mencontohkan uang transpor yang merupakan eksperimen regulasi baru.
"Akan tetapi, tidak menjamin 'money politics' tidak terjadi lebih gila lagi. Bisa saja mereka (peserta pilkada) lebih jorjoran menggunakan sarana uang transpor yang lebih tinggi daripada ketentuan," ujarnya.