Rabu 15 Jun 2016 14:40 WIB

Ini Penjelasan Kemendagri Soal Perda Intoleran

Rep: eko supriyadi/ Red: Muhammad Subarkah
Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal (kiri) bersama pejabat Muspida dan petugas memusnakan minuman keras (miras) berbagai merek hasil sitaan polisi syariat islam (Wilayatul Hisbah) di Banda Aceh, Aceh, Senin (7/3).
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal (kiri) bersama pejabat Muspida dan petugas memusnakan minuman keras (miras) berbagai merek hasil sitaan polisi syariat islam (Wilayatul Hisbah) di Banda Aceh, Aceh, Senin (7/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto menjelaskan apa maksud dari "perda intoleran" yang akan dihapus oleh Kemendagri. Menurut dia, perda tersebut adalah yang bernada melarang sesuatu atas dasar perintah agama.

Ia mencontohkan, salah satu sekolah dasar negeri di Sumatra Barat mewajibkan siswanya untuk bisa membaca surah al-Fatihah. Ia menilai hal tersebut sebagai sikap yang intoleran karena tidak semua orang yang masuk SD itu belum tentu Muslim.

Sama halnya aturan yang mewajibkan siswanya berbusana Muslim seperti di Padang. Selain itu, perda yang melarang warung makan buka saat Ramadhan juga termasuk dalam kategori intoleran. Seharusnya, warung-warung tersebut cukup diawasi dan dikendalikan sehingga tetap terlihat perbedaan saat Ramadhan dan sebelum Ramadhan.

''Kalau Perda Miras termasuk juga, itu tidak boleh satu daerah melarang. Yang boleh itu diawasi dan dikendalikan,'' kata Sigit saat dihubungi, Rabu (15/6).

Ia mencontohkan, minuman keras oplosan yang beredar di suatu daerah bukan salah perdanya, tapi lemahnya penindakan dan pengawasan oleh Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP setempat. Tetapi, lanjut Sigit, kalau masyarakat, terutama orang asing minum bir di hotel bintang lima tidak boleh dilarang karena sebagian besar dari mereka terbiasa minum bir terutama saat musim dingin.

''Jadi perda itu tidak boleh bunyinya melarang total. Itu tidak pas,'' ucapnya.

Sampai saat ini, Kemendagri baru menemukan tiga perda tersebut yang dianggap intoleran, yang berasal dari Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan tiga daerah yang menerapkan Perda Miras. Ia menegaskan, ada dua hal yang membuat perda tersebut dianggap intoleran.

Pertama, landasan hukum Indonesia bukan berdasarkan agama. Selain itu, saat ini sudah masuk era perdagangan bebas. Artinya, orang keluar-masuk melakukan kegiatan dengan bebas, terutama orang asing, sehingga untuk orang asing yang biasa minum maka minuman keras harus disediakan.

''Bukan kita ingin rakyat mabuk sampai mati, tapi ini soal komunikasi kepada seluruh stakeholder dan masyarakat,'' jelasnya.

Sebab, ia melanjutkan, Indonesia sudah tidak lagi berbicara persaingan antarindividu atau antara Jawa dan luar Jawa, tetapi sudah bersaing antarnegara ASEAN bahkan Asia dan dunia. Apalagi, Presiden ingin ekonomi Indonesia tumbuh dengan baik, yang karena perlu dikaji regulasi yang memberatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Meski demikian, tiga perda ini tidaklah signifikan untuk diperdebatkan karena hanya bagian kecil dari total 3.143 yang dianggap bermasalah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement