Selasa 14 Jun 2016 22:24 WIB

Kemendesa: Perlu Tumbuhkan Kembali Geliat Ekonomi Perdesaan

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Maman Sudiaman
Ahmad Erani Yustika
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ahmad Erani Yustika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Ahmad Erani Yustika mengatakan, salah satu hal penting yang harus diurus di desa adalah menghadirkan kesejahteraan bagi warga desa. Salah satu caranya adalah bagaimana menumbuhkan kembali geliat ekonomi perdesaan.

Kondisi masyarakat desa, ujar Erani, sampai sekarang masih sangat miris. "Bahkan  sebagian di antaranya sudah sangat dramatis kita sering dengar mereka bunuh diri karena panen yang gagal, tidak bisa melaut, PHK, dan macam-macam," ujarnya dalam siaran persnya, Selasa, (14/6).

Menurutnya, jika pemerintah tidak berada di garis terdepan untuk mencegah terulangnya kembali situasi dan kondisi seperti itu akan berbuah dosa. Bukan hanya dosa dalam arti rohaniah tapi juga merupakan dosa moral."Kita ini berada di lapis atas yang diberi hampir semua sumber daya. Mulai dari pendidikan, sumber dana, sampai otoritas, kita golongan yang punya kewenangan untuk melakukan perubahan. Kita bisa menjadi imam untuk melakukan perubahan," ujar Erani.

Memang, kata Erani, hal itu cukup rumit dan terjal. Namun semua pihak juga tahu di sini  letaknya seluruh komponen bisa bergandengan tangan untuk melaksanakan tanggungjawab itu secara baik, tahap demi tahap."Pendek kata, salah satu yang berpengaruh adalah sektor keuangan. Dia adalah urat nadi, darah, yang mengalirkan ekonomi. Kemajuan suatu negara tergantung sektor keuangan," katanya.

Erani mencontohkan, Singapura, Malaysia, dan Thailand bisa maju karena rasio sektor keuangan Singapura mencapai 200% dari PDB-nya. Begitu juga Malaysia, dan Thailand yang mencapai 110% dari PDB mereka. Anggaran sektor keuangan lebih besar dari ukuran ekonomi. Adapun Indonesia, hanya mampu berada di angka 35%. Kemudian, untuk meningkatkan prosentasi itu pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) menetapkan level suku bunga yang bisa menarik investor. 

Dampaknya banyak negara yang ingin masuk ke Indonesia. Tapi di pihak lain, ini menjadi beban. "Itu situasi level nasional, di desa keadaannya jauh lebih mengerikan."

Selama ini, terang dia, ada tiga pelaku yang mencoba memasok dana di desa. Pertama, instrumen yang dibuat negara seperti Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, setiap program yang didesain pemerintah selalu diiringi kepentingan birokrasi dan politik. "Inilah yang menyebabkan eksekusi di lapangan tidak sesuai target."

Kedua, ujar Erani, institusi dari sektor privat. Salah satunya yang terlihat adalah BRI.  Saat ini perbankan sudah menjangkau desa termasuk bank asing, Bank Danamon, BII. Mereka punya mimpi yang sama karena ada peluang pada pendanaan di desa.

Namun ada yang janggal yakni soal suku bunga kredit. Bunga bank untuk korporat hanya 12 % untuk UMKM bisa mencapai 35 %. Ini namanya rentenir yang legal. Daya sedot dan semprot tidak seimbang. Uang disedot lebih tinggi dibanding yang diberikan.

Ketiga, kata Erani, inisiasi yang dilakukan oleh LSM, masyarakarakt sipil, ormas, dan lain-lain. LSM memiliki idealisme dan kepentingan politisnya lebih rendah."Namun, inisiasi LSM sangat sedikit. Hanya satu desa atau dua desa saja per kabupaten," ujarnya.

Di tengah situasi ini, lanjut Erani, yang bisa dilakukan adalah mengkapitalisasi sumber daya desa. Yakni dengan mendorong lahir dan berkembangnya BUMDesa. Pendirian BUMDesa ini sangatlah penting karena memiliki alasan yuridis formal. 

"Yakni ada mandat undang-undang yang harus dilakukan. Kedua kita mencoba keluar dari situasi yang penuh masalah karena itulah BUMDesa  punya peluang untuk mengkapitalisasi sumber daya dan mengurangi dampaknya," ujar Erani. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement