Senin 13 Jun 2016 05:55 WIB

Pendidikan adalah Nasi Bungkus, Keluargalah Karet Gelangnya

Keluarga
Foto:

Sosroningrat tidak akan berpola pikir progresif seperti itu jika ayahnya bukan seorang pendobrak. Tjondronegoro IV, kakek Kartini yang seorang Bupati Demak, membuat terobosan besar untuk ukuran masa itu: mendorong anak-anaknya mendapat pendidikan Barat. Dari Tjondronegoro ke Sosroningrat ke Sosrokartono dan adik-adiknya.

Sang kakak sendiri bukan orang sembarangan. Dalam memoarnya Muhammad Hatta menulis, ia dan kawan-kawan mencari Sosrokoartono untuk diajak mendirikan Perhimpunan Indonesia. Sayang Sosrokartono tidak pernah bertemu Hatta saat keduanya tinggal di Eropa. Hatta juga menulis, Kartono punya bayaran 1.250 dolar AS.

 “Cukup untuk hidup mewah di Eropa.” 

Kartono adalah seorang jenius penguasa 24 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara. Soekarno konon menjadikan Kartono guru bahasa sekaligus guru spiritualnya.

Soekarno juga punya keberuntungan yang sama dengan Kartono. Sama-sama terdidik berkat lingkungan keluarga yang apik. Raden Soekemi Sosrodihardjo menitipkan anaknya pada Tjokroaminoto, kala itu seorang petinggi Sarekat Islam. 

Dalam didikan Tjokro lah, Soekarno belajar banyak hal tentang politik dan kepemimpinan. Gaya meledak-ledak dalam orasi adalah hasil belajar Soekarno pada Tjokro.

Di bawah didikan Tjokro, bukan cuma Soekarno sendirian yang moncer. Musso, Semaoen, Kartosoewirjo, dan Tan Malaka sama-sama berstatus teman kos Soekarno yang hebat. 

Musso dan Semaoen kaum kiri yang disegani dan membidani PKI. Kartosoewirjo memimpin DI/TII. Tan Malaka melahirkan Madilog dalam bising desir peluru dan bom.

Terlalu banyak kalimat tumpah ruah jika harus menyebut satu demi satu contoh peran krusial keluarga dalam pendidikan seseorang. Cerita non-fiksi maupun fiksi (bacalah kisah Scout dan Jem dalam novel To Kill A Mockingbird) menghadirkannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement