REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), menyatakan negara mengalami kerugian lebih dari Rp 221,8 triliun dari APBN P 2015. Kerugian ini diduga disebabkan buruknya aspek pencatatan keuangan dan belum disiplinnya sistem penegakan penerimaan sanksi oleh negara.
Sekjen Fitra, Yenny Soetjipto, mengatakan kerugian sebesar Rp 221,8 triliun merupakan 12 persen dari besaran APBN P 2015 yang mencapai sekitar Rp 1.800 triliun. Angka tersebut, jelas Yenni, belum merupakan hasil akumulasi audit keseluruhan dari lembaga dan kementerian negara.
"Ada potensi kerugian yang lebih besar karena angka Rp 221,8 triliun diambil dari sampel beberapa lembaga dan kementerian," ujar Yenni kepada wartawan di Jakarta, Kamis (9/6).
Dia menjelaskan, salah satu sumber kerugian negara diduga disebabkan buruknya perencanaan keuangan saat pembelanjaan. Sistem perencanaan yang buruk meliputi teknis administrasi, kesalahan pencatatan, alokasi penganggaran yang tidak tepat dan senagainya. Aspek ini menyumbang kerugian sebesar Rp 166,9 triliun.
Kerugian kedua, lanjut Yenni, disebabkan belum disiplinnya penegakan negara terhadap penerimaan anggaran dari sejumlah sanksi. "Kerugiannya mencapai Rp 54,9 triliun yang berasal dari sanksi administrasi, piutang kedaluwarsa, piutang belum kadaluwarsa dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak disetorkan secara maksimal," ungkap Yenny.
Baca juga, Pemerintah Jangan Tipu Rakyat dengan Angka Pertumbuhan Ekonomi.
Fitra menilai, kerugian negara sebesar 12 persen termasuk tinggi. Jika tidak segera antisipasi, kata Yenny, ada potensi kebocoran keuangan negara yang lebih besar secara jangka panjang.
Karena itu, Fitra merekomendasikan adanya evaluasi sistem birokrasi secara menyeluruh terhadap kementerian dan lembaga pemerintah. Pasalnya, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap LKPP 86 kementerian dan lembaga, BPK menyatakan secara keseluruhan status akuntabilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo wajar dengan pengecualian.