Rabu 08 Jun 2016 17:50 WIB

Penanganan Terorisme Dinilai Lebih Baik Sebelum Ada UU

Rep: Agus Raharjo/ Red: Angga Indrawan
Sejumlah anggota TNI bersiap untuk melakukan penyisiran kelompok sipil bersenjata Santoso di Watutau, Lore Peore, Poso, Sulawesi Tengah, Rabu (23/3).
Foto: Antara/Fiqman Sunandar
Sejumlah anggota TNI bersiap untuk melakukan penyisiran kelompok sipil bersenjata Santoso di Watutau, Lore Peore, Poso, Sulawesi Tengah, Rabu (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan terorisme sebelum ada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidanan Terorisme dinilai lebih baik dibanding setelah ada UU. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Anton Tabah mengatakan, penanganan kasus terorisme saat terjadi bom Bali pertama menjadi bukti keberhasilan aparat mengungkap kasus tersebut dengan indah.

“Tak satu pun pelaku mati, alat bukti lengkap sampai ditemukan jok mobil yang digunakan di Lamongan, ini justru sebelum ada UU,” tutur Anton Tabah saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR RI, Rabu (8/6).

Anton menambahkan, penanganan kasus terorisme saat Bom Bali I di Legian, Kuta, Bali menjadi penanganan kasus teror yang paling mendapat pujian dari banyak pihak. Penanganan itu juga dinilai sebagai penanganan terorisme paling indah. Padahal, saat itu, Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur soal tindak pidana terorisme ini.

Setelah disahkan UU Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, penanganan kasus terorisme justru mengalami terjadi banyak masalah. Sebab, setiap terduga teroris yang dikejar aparat Detasemen Khusus 88 justru meninggal dunia. Bahkan, kasus salah tangkap maupun salah sasaran juga sering terjadi setelah adanya UU Terorisme.

“Setelah ada UU justru banyak sekali terduga teroris mati, kenapa setelah ada UU justru malah jadi begini,” ujar Wakil Ketua Komite Hukum Majelis Ulama Indonesia ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement