Rabu 08 Jun 2016 15:04 WIB

Daging Mahal, Masyarakat Sleman Diimbau Makan Ikan

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pedagang daging sapi (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Pedagang daging sapi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tingginya daging sapi di pasaran, membuat Pemkab Sleman mengimbau masyarakat mengonsumsi sumber protein hewani lain.

Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan (DPPK) Sleman Widi Sutikno menyampaikan, sumber protein lain yang mampu mengganti asupan adaging sapi adalah ikan. "Masih ada ikan yang nilai gizinya tidak kalah dengan daging sapi. Jadi kalau tidak mampu beli daging sapi jangan dipaksa," tuturnya, Rabu (8/6).

Terkait kemungkinan beredarnya daging gelonggongan, ia meminta agar masyarakat berhati-hati saat membeli kebutuhan dapur di pasar.

Namun demikian, Widi meyakini masyarakat sudah mengetahui ciri-ciri daging yang bagus dan tidak. Pemerintah sendiri akan melakukan pengawasan peredaran daging sapi secara rutin. Terutama di wilayah perbatasan, seperti Prambanan dan Tempel.

Di sisi lain, permintaan ikan sama sekali tidak meningkat meskipun harga daging sapi melambung. Kebanyakan masyarakat memilih beralih ke daging ayam, tahu atau tempe.

Kondisi ini diakui Pedagang Condongcatur, Karyono (51). Menurutnya, selama ini pembeli ikan didominasi oleh konsumen warung, seperti  warung masakan Padang.

“Pembeli rumah tangga juga ada. Tapi itu juga belinya hanya satu sampai dua kilogram. Paling banyak Lele dan Nila," kata Karyono. Padahal saat ini harga daging sapi masih berkisar pada angka Rp 125 ribu per kilogram.

Sementara itu, Kepala Bidang Peternakan DPPK Sleman, Suwandi Aziz menyampaikan, persediaan daging sapi di Sleman sendiri sebenarnya sudah mencukupi kebutuhan masyarakat. Di mana produksi daging sapi mencapai 1.858.970 Kg per tahun.

“Kebutuhan masyarakat kan hanya 55.737,96 kilo gram per tahun,” tutur Aziz. Namun demikian, menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, pedagang di pasar masih mengambil daging sapi dari Plered.

Aziz menyampaikan, di Sleman hanya ada empat peternak yang memotong sapinya sendiri. Sementara pemilik sapi yang lain jarang memotong binatang peliharaannya. Sebab sapi-sapi tersebut kebanyakan digunakan sebagai ajang perlombaan dalam festival gerobak sapi, meskipun jenisnya merupakan pedaging.

Sedangkan terkait kenaikan harga sapi, Aziz menuturkan, pihaknya tidak bisa mengendalikan hal tersebut. Sebab kondisi demikian sangat dipengaruhi oleh psikologi pasar. Baik di tingkat daerah maupun nasional. “Kami memang tidak bisa berbuat apa-apa soal perubahan harga,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement