REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada delapan jenis kekerasan seksual yang pelakunya dapat dihukum pidana, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, sterilisasi paksa, perbudakan seksual, penyiksaan seksual dan pelacuran paksa.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, kedelapan bentuk kekerasan seksual tersebut beserta ancaman pidananya akan diatur dalam rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Terobosan yang ditawarkan dalam rancangan UU ini yakni adanya hukum acara tersendiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Azriana menuturkan, selama ini korban kerap kali kesulitan ketika harus membuktikan kekerasan seksual yang dialaminya. Padahal, dalam hukum pidana, dibutuhkan minimal dua alat bukti agar pelaku dapat ditetapkan sebagai tersangka. Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual ini menawarkan solusi agar keterangan korban dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Azriana menyebut, alat bukti berupa keterangan korban bukan barang baru dalam dunia hukum. Sebab, kata dia, UU Penghapusan KDRT sudah mengakui bahwa keterangan korban juga merupakan alat bukti.
"Jadi tinggal ditambah satu bukti lainnya, proses hukumnya sudah bisa dilanjutkan," kata Azriana di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (8/6). Ia baru saja menghadap Presiden Joko Widodo untuk menyerahkan draft rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Lebih lanjut, Azriana memaparkan, adanya hukum acara tersendiri dalam kasus kekerasan seksual diharapkan dapat mengurangi kasus-kasus yang tidak dapat ditindaklanjuti secara hukum. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Komnas Perempuan terhadap 47 kasus kekerasan seksual, 50 persen di antaranya diselesaikan lewat jalur mediasi. Hal ini karena polisi tak bisa memproses kasus karena kurangnya alat bukti.
Padahal, penyelesaian lewat jalur mediasi tidak menyelesaikan masalah. Azriana menyebut, mediasi tidak bisa memastikan korban mendapatkan hak pemulihannya. Sebab, pada umumnya mediasi dibarengi dengan upaya mengawinkan pelaku dengan korbannya. Di sisi lain, mediasi juga tidak memberikan efek jera sehingga pemerintah tidak bisa mencegah kekerasan seksual berulang.
"Ketika satu kejahatan tidak diproses hukum, itu sebenarnya sedang memperlihatkan kepada calon pelaku lain bahwa kalau mereka melakukan hal yang sama juga tidak akan diproses hukum," ujar dia.
Azriana berharap, draf rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual segera mendapat persetujuan dari Presiden. Selanjutnya, dia menargetkan dapat menyerahkan draf UU tersebut pada DPR pada awal Juli mendatang.