REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- DPR akhirnya mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada pada Kamis (2/6) kemarin. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai pengesahan itu terlalu terburu-buru. Menurutnya masih banyak yang harus dipertimbangkan sebelum mengesahkan RUU Pilkada.
Jimly yang kini menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI menilai DPR mengesahkan RUU tersebut karena disetir isu-isu yang digulirkan oleh media, LSM, dan pengamat. Menurutnya Revisi UU terkesan hanya mengejar waktu sehingga mendahulukan pasal-pasal yang dianggap mudah.
"Kalau tujuannya konsolidasi dalam rangka pemilihan terbuka 2019 maka pengesahan ini belum sesuai," ungkapnya usai memberikan kuliah tamu di Universitas Brawijaya, Jumat (3/6). Padahal, lanjutnya, dalam hukum sudah ada peraturan peralihan untuk mengatasi persoalan yang belum menemui kata sepakat.
Salah satu poin yang menyedot perhatian dalam UU ini adalah adanya aturan yang mengharuskan anggota DPR mundur dari keanggotaan di parlemen jika ingin maju pilkada. Sedangkan bagi kepala daerah petahana yang ingin kembali mencalonkan diri hanya diminta mengajukan cuti.
Aturan anggota DPR harus yang mundur itu dipandang Jimly tidak sehat dan tidak adil. Karena, anggota DPR tidak melibatkan konflik kepentingan dalam mengikuti pilkada.
"Tapi kalau kepala daerah yang mencalonkan diri akan lebih rawan konflik kepentingan karena dikhawatirkan akan memanfaatkan kekuasaannya," terangnya.