Jumat 03 Jun 2016 06:00 WIB

Trust

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap umat manusia berusaha untuk memiliki pengakuan atas martabatnya .... Di masa modern, perjuangan untuk memperoleh pengakuan ini telah beringsut dari wilayah militer ke wilayah ekonomi ....

Kalimat itu tercetak dari pemikiran Francis Fukuyama. Ia menulis buku berjudul Trust, percaya, tiga tahun setelah menulis bukunya yang fenomenal, The End of History and the Last Man. Trust terbit pada 1995. Pemikiran Fukuyama ini saya paparkan dalam Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan yang diselenggarakan Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Konvensi itu mengambil pokok tema "daya saing bangsa" menuju Indonesia berkemajuan. Tema yang sangat relevan dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk bisa maju.

Studi-studi tentang mengapa suatu bangsa bisa maju dan mengapa bangsa yang lain tertinggal, bahkan terbelakang, merupakan tema yang terus digali di abad modern ini. Buku Trust adalah salah satunya, dengan pendekatan sosial budaya. Bagi pemikir asal Amerika Serikat itu, yang dicari suatu bangsa adalah pengakuan terhadap martabat. Jika di masa lalu martabat itu diraih dengan membangun kekuatan militer, maka di masa modern martabat bisa digapai jika sukses secara ekonomi. Kesuksesan ekonomi itulah yang menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa.

Menurut Fukuyama, seluruh masyarakat ekonomi yang berhasil disatukan oleh adanya sikap saling percaya. "Kesejahteraan sebuah negara, seperti kemampuannya untuk bersaing, ditentukan oleh karakteristik tunggal, karakteristik budaya pervasif: tingkat kepercayaan yang inheren dalam masyarakat." Nilai-nilai untuk saling percaya itu harus melekat di dalam masyarakat. Untuk masuk ke argumennya lebih dalam, Fukuyama meminjam pemikiran James Coleman tentang "modal sosial". Kata kunci pemikiran Coleman adalah pada adanya kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. Hal itu dilakukan jika ada kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain, saling berhubungan.

Menurut Fukuyama, kemampuan untuk berasosiasi ini sangat tergantung pada kemauan untuk saling berbagi dalam mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama. Jika titik temu etis-normatif ini ditemukan maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk pada kepentingan-kepentingan komunitas kelompok. Dari nilai-nilai bersama ini akan bangkit apa yang disebut trust.

Saat ini, kehendak untuk mencapai kemakmuran ekonomi sedang menuju tangga menaik yang tajam. Indonesia terus menghela diri. Secara individu, semua berebut, semua berburu. Ada banyak jalan untuk mencapai kemakmuran ekonomi itu. Yang utama tentu melalui jalan bisnis. Sebagian justru menempuh jalan politik, bahkan jalan ini menjadi "kunci inggris". Ingin meraih semuanya. Yang menjadi polisi, birokrat, hakim, jaksa, tentara pun ingin masuk di area yang sama. Korupsi pun menjadi jalan pintas. Namun, yang lebih penting, apa yang dilakukan bangsa dan negara agar nilai-nilai trust itu menjadi melekat dan individu-individu di dalamnya berada dalam arus yang sama. Upaya-upaya itu berupa penegakan hukum, pembangunan infrastruktur, membangun transparansi, dan sebagainya.

Selain faktor kelembagaan, struktural, dan yuridis, maka keteladanan para pemimpin selalu menjadi daya hela yang kuat. Keberhasilan Risma sebagai wali kota banyak dicontoh para kepala daerah lain. Risma tegas, banyak turun ke lapangan, dan menjadi ibu bagi rakyatnya. Visi Ridwan Kamil dalam membangun taman kota juga diikuti yang lain. Ia menyukai keindahan, artistik, dan menyapa. Tentu banyak kepala daerah lain yang menunjukkan kepemimpinan kuat, seperti Abdullah Azwar Anas, Suyoto, Nurdin Abdullah, dan sebagainya.

Namun, ada yang kontroversial, yaitu gaya kepemimpinan Ahok. Dia tegas, tanpa kompromi, frontal, dan serbacepat. Karena itu, antara pemuja dan pengkritiknya sama kuatnya. Gayanya yang frontal dalam menggusur permukiman kumuh menjadi titik picunya. Demikian pula langkah cepatnya untuk membangun 17 pulau baru di Teluk Jakarta.

Ahok seolah membuang public sphere bagi tumbuhnya public discourse. Padahal, dalam membangun demokrasi, tak cukup hanya menyediakan sistem, hukum, dan kelembagaan, tapi juga berseminya budaya demokrasi. Hadirnya ruang publik untuk membangun wacana publik adalah keniscayaan bagi budaya demokrasi. Pada titik ini ia gagal membangun asosiasi, yang menjadi prasyarat bagi tumbuhnya kerja sama yang selanjutnya melejitkan trust.

Koentjaraningrat, bapak antropologi Indonesia, melalui serangkaian studinya, ia mengidentifikasi mentalitas manusia Indonesia. Ada yang negatif, ada yang positif. Ada yang harus dibuang, ada yang harus dipelihara dan dikembangkan agar sesuai dengan cita-cita pembangunan. Salah satu nilai tersebut adalah nilai-nilai kerja sama yang tecermin pada tradisi kerja bakti, misalnya. Ujung dari semua itu adalah budaya gotong royong. Bahkan, Bung Karno, saat pidato 1 Juni 1945, yang kini telah ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila, menyebut jika Pancasila diperas menjadi satu sila saja maka sila itu adalah gotong royong.

Budaya trust seperti yang disyaratkan Fukuyama bagi kemajuan Indonesia telah bersemi di bumi Indonesia. Namun, sebagai bangsa yang baru dibentuk, dan tiadanya stabilitas politik dan konsistensi sistem politik membuat perjalanan hampir 71 tahun bangsa ini belum mencapai bentuknya yang jejeg. Karena itu, kita begitu limbung terhadap nilai-nilai budaya sendiri, dan seolah hanya dihadapkan pada satu ekstremitas pilihan. Seolah dunia itu linier, seperti pilih santun tapi korupsi atau pilih kasar tapi bersih.

Di bulan Pancasila ini, sudah saatnya kita mengukuhkan nilai-nilai bangsa yang koheren dengan peradaban maju. Bangsa yang maju adalah bangsa yang keras hati pada jati diri, bukan bangsa yang mudah dinegosiasi dan yang mudah dilumpuhkan oleh intrusi. Kebudayaan yang persisten adalah kebudayaan yang bisa menghimpun unsur baik dan inklusif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement