REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana eksplorasi gas di Lereng Gunung Sorik Marapi, Sumatra Utara, ditentang warga setempat. Pasalnya tidak ada sosialisasi sebelumnya dan pihak perusahaan langsung mengangkut peralatan ke lapangan.
"Sejak PT SMGP (Sorik Marapi Geothermal Power) hadir, hampir setiap bulan warga melakukan unjuk rasa," kata koordinator pengunjuk rasa Alfian Siregar, baru-baru ini.
Alfian menduga PT SMGP mengadu domba warga. Mereka dibantu sejumlah pejabat eksekutif, legislatif, dan para tokoh. Dia menyebut sebagai balas jasa, perusahaan ini mempekerjakan keluarga para petinggi kabupaten, membeli lahan yang berdekatan dengan lokasi rencana pengeboran, menyewa rumah dan tanah para pejabat Pemkab dan DPRD Mandailing Natal, dengan harga lima kali lipat dari nilai standar di Panyabungan, Ibu Kota Kabupaten Madina.
Pro dan kontra pun, pelan-pelan, merasuki warga lima kecamatan yakni Kecamatan Tambangan, Panyabungan Barat, Lembah Sorik Marapi, Panyabungan Selatan, dan Puncak Sorik Marapi. Puncaknya pada 11 November 2014, ribuan masyarakat yang memblokir jalan Lintas Sumatra ditantang belasan warga yang lain dimana seorang tewas dan belasan lainnya digelandang ke kantor polisi.
Salah seorang di antara warga, bernama Herman Nasution, sampai kini masih ditahan di Lapas Panyabungan, dengan tudingan memprovokasi warga. Meski sebenarnya, menurut Komunitas Mandailing Perantauan, penduduk asal Maga, Mandailing Natal, tersebut melindungi ribuan warga lima kecamatan, agar tidak terus diinterogasi dan diintimidasi oleh pihak kepolisian. Apalagi pada akhirnya, pengadilan tidak menemukan terdakwa. Tersangkanya adalah ribuan orang yang marah.
Melihat masyarakat sudah menjadi korban dan rencana eksplorasi memasuki tahap merusak lingkungan dan menimbulkan bencana alam, Bupati Mandailing Natal, pada 9 Desember 2014, mencabut izin PT SMPG. Pada 2015, pemerintah mengubah kebijakan Izin Usaha Pertambangan, tidak lagi dikeluarkan oleh kepala daerah, tetapi dari Menteri ESDM. PT SMPG mendapat angin. Mereka mengurus izin baru dan memperolehnya pada 21 April 2015.
"PT SMPG pun makin tidak lagi peduli dengan lingkungan. Diam-diam, mereka mulai membeli lahan dari masyarakat," kata Alfian. Padahal, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 568 Tahun 2012, pemakaian lahan eksplorasi merupakan hak pinjam pakai.
PT SMPG, kata dia, mulai menguasai ratusan hektare lahan yang digarap masyarakat, meski SK Menteri Kehutanan No. 568 Tahun 2012, hanya menoleransi pemakaian untuk eksplorasi 14 hektare, jalan 20 hektare, dan pipa 2 hektare.