Selasa 31 May 2016 04:47 WIB

Indeks Kota Islami Tuai Polemik, Ini Tanggapan Maarif Institute

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Esthi Maharani
Direktur Riset Maarif Institut dan Koordinator Indeks Kota Islami (IKI), Ahmad Imam Mujadid Rais (kanan) memaparkan riset untuk Indeks Kota Islami (
Foto: Republika/ Musiron
Direktur Riset Maarif Institut dan Koordinator Indeks Kota Islami (IKI), Ahmad Imam Mujadid Rais (kanan) memaparkan riset untuk Indeks Kota Islami (

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian Indeks Kota Islami (IKI) yang dirilis pada tanggal 17 Mei lalu telah memunculkan polemik. Pro dan kontra terus bermunculan di pelbagai media cetak dan online, mulai dari dukungan, kritik, tuduhan hingga suara-suara sumbang.

“Atas nama Maarif Institute, kami sangat menghargai bahkan berterimakasih atas respon publik itu. Resiko jika ada kritikan bahkan gugatan sejauh disampaikan secara proporsional," ungkap Direktur Eksekutif MAARIF Institute Fajar Riza Ul Haq melalui keterangan resminya kepada Republika, Senin (30/5). Namun, menurut Fajar, banyak pihak yang salah memahami Indeks Kota Islami sehingga arah kritiknya tidak tepat.

Sementara itu, Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais, menjelaskan ada tiga isu utama yang di ingin disampaikan Maarif Institute kepada publik. Pertama, Indeks Kota Islami adalah Indeks tentang kota, dan bukan survey kepada masyarakat.

Pada umumnya kritik atas penelitian tersebut karena mengganggap penelitian ini sekaligus meneliti masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Padahal, menurut Ahmad, indeks ini meneliti kota sebagai unit analisisnya, bukan masyarakat. Oleh karena itu, indeks ini tidak meneliti perilaku ritual masyarakat, aspek spiritual serta ideologis mereka. Penelitian ini hanya fokus di tingkat kota, pada ranah kebijakan dan implementasinya.

Kedua, persoalan definisi Islam dan Islami. Ahmad mengatakan sejatinya penelitian ini ingin melihat bagaimana nilai-nilai Islam diaplikasikan dalam penyusunun berbagai aturan di kehidupan kota merujuk kepada Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

“Beberapa diskusi kami dengan para ahli tafsir terkait definisi kota Islami merujuk pada variabel Aman, Sejahtera dan Bahagia. Dari ketiga variabel ini, diturunkan ke dimensi dan indikator-indikator yang telah dipilah dengan metode maqashid shariah tadi. Metode ini telah berkembang secara keilmuan", ulas Rais.

Ketiga, persoalan pilihan variabel atau indikator. Dalam penentuan variabel dan indikator, menurut Ahmad, umumnya para pengkritik fokus pada definisi kerja Kota Islami versi Maarif Institute yang dinilai tidak komprehensif. Pengkritik cenderung mempertanyakan tidak adanya variabel seperti unsur ibadah, kepemimpinan,  kejujuran pemimpin, dan lingkungan hidup. Padahal, menurut Ahmad, bila ditilik lebih dalam, indikator-indikator tersebut jelas ada di dalam penelitian yang dilakukan.

Ahmad menjelaskan bahwa pemilihan indikator ini menggunakan metode maqasid shariah. Dalam memahami maqashid shariah ini pun menggunakan perspektif maqashid kontemporer yang bernuansa pengembangan (tanmiyah/ development) dan pemuliaan Human Rights (Hak-hak Asasi) daripada maqashid yang bernuansa penjagaan dan pelestarian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement