REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Virus flu burung yang menyerang unggas pada 2012-2015 di Pulau Jawa diketahui telah mengalami mutasi secara genetik. Hal itu berdasarkan hasil riset disertasi Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Iswahyudi yang berjudul "Karakterisasi Asam Amino Virus Flu Burung di Pulau Jawa Periode 2012-2015 sebagai Landasan Pemantapan Kebijakan Pengendalian Penyakit Flu Burung di Indonesia."
Iswahyudi menjelaskan, virus influenza sangat mudah bermutasi karena materi genetik pembentuknya berupa RNA dengan enzim polimerase yang mempunyai kemampuan proof-reading yang rendah dalam proses replikasinya.
"Jadi antara virus flu burung di satu wilayah dengan wilayah lain sudah berbeda," jelasnya seusai sidang disertasi di gedung Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (30/5).
Dia menyebutkan, mutasi virus flu burung ada dua jenis. Pertama, mutasi substitusi yang memungkinkan virus itu menjadi lebih galak alias ganas. Kedua mutasi dilesi. Mutasi jenis kedua ini yang menjadi teka-teki. Karena mutasi dilesi tidak diketahui arah kemana nantinya. Apakah lebih jinak alias lebih tidak mematikan atau justru lebih galak lagi.
"Nah mutasinya virus yang terjadi di Indonesia itu salah satunya disebabkan oleh adanya implementasi kebijakan yang tidak tepat," imbuhnya.
Baca juga, Bekasi Antisipasi Penyebaran Virus Flu Burung.
Ia mencontohkan implementasi kebijakan yang tidak tepat tersebut seperti vaksinasi. Vaksinasi yang seharusnya dilakukan berulang sebanyak lima kali, implementasinya berbeda. Jumlah unggas yang begitu besar di Indonesia termasuk Jawa Timur menyebabkan pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk pengadaan jumlah vaksin yang tersedia.
"Jumlah vaksin yang tersedia saat ini Jatim yang tertinggi di Indonesia itu pun hanya sampai 5 persen, yang lainnya justru di bawah itu," ungkapnya.
Jumlah vaksin 5 persen tersebut mencakup peternakan sektor III skala kecil dan sektor IV. Peternakan sektor IV mencakup unggas yang dipelihara rumah tangga yang jumlahnya mulai dari beberapa ekor hingga 100 ekor. Unggas tersebut bahkan ada yang tidak dikandangkan. Akibatnya potensi tertular virus dari hewan ke manusia lebih besar.
Oleh sebab itu, dalam disertasi tersebut dia merekomendasikan masyarakat yang memelihara unggas pekarangan tanpa dikandangkan agar beralih budidaya. Namun, jika tetap ingin memelihara unggas harus dikandangkan.