REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim gabungan penegak hukum di Riau, Sumatra meringkus lima pelaku perdagangan sepasang gading gajah. Tim terdiri dari Polda Riau, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (BPPH) Wilayah Sumatera seksi wilayah Riau dan BKSDA Jambi.
Penangkapan terjadi saat para pelaku melakukan transaksi di salah satu restoran Pekanbaru pada Jumat, 20 Mei 2016 lalu. Penangkapan dibarengi barang bukti berupa satu pasang gading dengan berat 46 kilogram dan satu unit kendaraan bermotor. Barang bukti selanjutnya diamankan di Direskrimsus Polda Riau untuk penyidikan.
Gading-gading tersebut rencananya akan dijual kepada pembeli di Pekanbaru dengan harga Rp 20 juta per kilogram. "Ini merupakan hasil koordinasi dan kerjasama yang baik dari penegak hukum lintas provinsi dengan dukungan berbagai pihak," kata Kepala BBKSDA Riau Tandya Tjahjana dalam siaran pers, Rabu (25/5).
Operasi penangkapan tersebut merupakan hasil pengembangan informasi dari laporan yang masuk ke tim gabungan beberapa waktu sebelumnya. Komplotan diduga merupakan pelaku perdagangan gading dengan jaringan yang cukup luas. Menurut pengakuan tersangka, gading tersebut berasal dari Aceh.
Program Manajer WWF Program Sumatera Tengah Wishnu Sukmantoro mengapresiasi keberhasilan Polda Riau, BBKSDA Riau, BPPH seksi wilayah Riau dan BKSDA Jambi yang telah berhasil menangkap pelaku perdagangan gading. "Ini merupakan bentuk komitmen para penegak hukum," katanya.
Sebelumnya pada 28 April lalu, tim gabungan juga berhasil menangkap dua pelaku pedagang dan pengepul satwa liar di Kecamatan Kuantan Mudik-Kuantan Singingi, Riau. Dari pelaku di antaranya diamankan satu kulit harimau lengkap dengan bagian tulang-tulangnya. Kedua pelaku kini masih menjalani proses penyidikan di Direskrimsus Polda Riau.
Wishnu melihat koordinasi yang solid antar penegak hukum. Makanya upaya strategis penguatan penegakan hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kepolisian perlu terus didukung. Berdasarkan pantauannya, Riau selama ini selalu menjadi rute perdagangan satwa liar baik dari kawasan Riau itu sendiri, maupun dari provinsi lainnya di Sumatera.
Hingga kini pelaku tindak kejahatan satwa liar dijerat dengan UU no 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Ancaman hukuman berupa pidana maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta rupiah. "Ancaman hukuman ini masih sangat rendah dibanding kerugian ekonomi dan ekologi yang ditimbulkannya," tuturnya.
Terlebih, vonis yang dijatuhkan untuk kejahatan satwa liar selama ini hanya berkisar 1-2,5 tahun. WWF Indonesia bersama Koalisi Kebijakan Konservasi (Pokja Konservasi) pun terus mendorong agar Revisi UU No 5/1990 menjadi pembahasan dalam Prolegnas 2016.