Rabu 25 May 2016 21:50 WIB

PPATK: Koruptor Kerap Lolos dari TPPU

 Kepala PPATK M Yusuf (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (kanan)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Kepala PPATK M Yusuf (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Muhammad Yusuf menyayangkan koruptor kerap lolos dari jeratan UU Tindak Pidana Pencucian Uang lantaran perilaku nakal oknum penegakan hukum.

"Saya melihat ada keengganan dari mereka 'oknum' penegak hukum membawa kasus ke ranah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), karena sanksi bagi terdakwanya sangat berat," kata Yusuf dalam acara sosialisasi "Pencegahan TPPU" ke karyawan PT Pupuk Sriwijaya di Palembang, Rabu.

Ia menilai, masih ada ketidakjujuran dari oknum penegak hukum karena bertujuan melindungi aset sebagian pihak.

"Ada seperti kesengajaan agar si A diproses dan si B itu tidak," kata dia.

Oleh karena itu, sangat perlu membangun kesadaran dari penegak hukum mengenai pentingnya penerapan UU TPPU selain UU Tindak Pidana Korupsi.

Ia mengatakan, sejauh ini penegakan hukum di Indonesia masih konvensional, yakni bagaimana menjerat pelaku dengan hukuman seberat-beratnya.

Padahal jika diibaratkan 'pohon kejahatan', cara seperti itu sama saja dengan hanya memangkas batang dan daun atau tidak sampai ke akarnya.

"Jika hanya dijerat dengan UU Tindak Pindana Korupsi maka tidak sebanding dengan kerugian yang dilakukan. Para koruptor juga harus dimiskinkan," kata dia.

Terkait dengan perkembangan kasus-kasus korupsi yang ada di Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga terlihat langsung dalam upaya penelurusan kekayaan pelaku.

"Ada beberapa terdakwa kasus korupsi yang akan dijerat juga dengan UU TTPU, ada juga satu dari Palembang," kata Yusuf.

Saat ini Pengadilan Tipikor Jakarta sedang menyidangkan kasus TPPU mantan bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin yang ditengarai memiliki aset hasil pencucian uang sebesar Rp1 triliun, dan dari jumlah itu sebanyak Rp600 miliar dituntut jaksa harus dikembalikan ke negara.

Jumlah tersebut diperkirakan berasal dari keuntungan atau fee dari proyek yang masuk ke sejumlah rekening bank dan saham beberapa perusahaan, katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement