REPUBLIKA.CO.ID, KARO -- Sekitar tiga tahun mengungsi di posko GBKP Simpang Enam Kabanjahe, Karo, warga terdampak erupsi Gunung Sinabung asal Desa Sigarang-garang, Naman Teran, kerap terserang penyakit. Penyakit yang cukup sering dialami para pengungsi ini yakni terkait dengan asam lambung dan hipertensi (darah tinggi).
Bidan di posko GBKP Simpang Enam, Asal Tarigan, mengatakan, kedua penyakit ini cenderung dipengaruhi oleh faktor pikiran. Erupsi Gunung Sinabung yang terus terjadi menyebabkan nasib mereka tidak jelas, terutama terkait kondisi perekonomian. Apalagi, belum ada kepastian mengenai pelaksanaan relokasi mereka ke tempat tinggal yang permanen.
"Pikiran yang tidak tenang bisa menjadi penyebab datangnya penyakit, apalagi di posko pengungsian, banyak warga yang tidak nyaman saat tidur," kata Asal saat ditemui di posko, Senin (23/5).
Mengenai gizi, Asal mengklaim, hingga saat ini belum menemukan ada pengungsi yang mengalami kekurangan gizi. Walaupun nyaris setiap hari, pengungsi mengaku hanya mengonsumsi nasi dengan lauk ala kadarnya.
Seperti saat Republika mendatangi posko GBKP Simpang Enam Kabanjahe, Senin (23/5) sore, para penggungsi tampak sedang menyantap nasi dengan lauk ikan asin sepanjang jari telunjuk, sambal, serta labu siam rebus. Menurut salah seorang pengungsi, Elvina, dalam sehari, mereka mendapat jatah makan sebanyak tiga kali.
Makanan yang diberikan pun tergolong seadanya. Bahkan, menurut Elvina, beberapa kali mereka hanya makan dengan nasi putih dan sayur.
"Memang makan tiga kali sehari, tapi, ya, ala kadarnya saja. Saat ini kami juga sedang memikirkan cara untuk mencari uang sekolah anak yang SMA dan yang mau kuliah," ujarnya.
Keluhan mengenai uang sekolah anak-anak yang berada di pengungsian ini juga disampaikan oleh Noni Sembiring. Perempuan berusia 54 tahun ini berharap bantuan pendidikan diberikan secara menyeluruh hingga jenjang perguruan tinggi.
"Bantuan anak sekolah juga jangan sampai SD saja, tapi kami harap sampai kuliah. Anak kami banyak yang pengangguran. Biar ada kerjaannya," kata Noni.
Ia pun berharap, jika mereka memang tidak bisa kembali tinggal di desa asal, rencana relokasi dapat segera direalisasikan. Dengan begitu, mereka akan bisa menjalani kehidupan mereka layaknya sebelum berada di pengungsian, seperti berkebun.
"Jalan tiga tahun kami mengungsi. Carilah apa yang terbaik untuk kami, terutama anak sekolah kami. Kalau soal makan, kami belakangan ini kurang. Banyak bantuan dari swasta, dari pemerintah kurang. Mohon mandirikan kami. Tolong perhatikan nasib kami para pengungsi," ujar Noni lagi.
Saat ini, jumlah pengungsi di posko GBKP Simpang Enam Kabanjahe mencapai 1.519 orang yang terdiri atas 421 keluarga. Beberapa dari mereka saat mengungsi hanya membawa beberapa potong pakaian dan selimut.