REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memberikan rekomendasi kepada daerah-daerah untuk menghapus perda-perda minuman keras (miras) dianggap tumpang tindih dan tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.
Anggota DPD RI, Fahira Idris juga menganggap kebijakan tersebut tidak berdasar dan mencerminkan tidak adanya sensitivitas pemerintah terhadap maraknya kejahatan akibat miras yang terjadi belakangan ini.
"Miras masih jadi momok, apalagi kalau aturan mau dihapuskan. Saya nggak habis pikir terhadap pemerintah," kata Fahira di Jakarta, Sabtu (21/5).
Menurut Fahira, sudah kali kedua pemerintah mencoba-coba melonggarkan aturan mengenai miras. Pertama, kata dia, dengan merelaksasi Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen Dagri) No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A, yang sempat membuat gaduh dan kemudian dianulir. Kedua, dengan merekomendasi pencabutan perda-perda miras yang saat ini mulai bergulir.
"Masyarakat lelah dan bisa marah kalau pemerintah terus test the water soal miras Jangan sampai dalih investasi dijadikan alasan untuk mencabut perda-perda miras," ujar Fahira.
Padahal, lanjut Fahira, Presiden sudah menyampaikan tidak masalah bila negara kehilangan triliunan rupiah karena pelarangan penjualan miras. Menurut dia, jika miras dibiarkan, kerugian yang akan ditanggung negara jauh lebih besar.
"Kenapa instruksi presiden ini tak dihiraukan bawahannya. Lagi pula, pendapatan negara dari miras tidak signifikan. Yang signifikan itu kerusakannya," katanya.